Pasang Iklan

ads ads ads ads ads ads

Sunday 30 May 2010

Prespektif Olahraga Dalam Berbagai Dimensi Sosial


1. Olahraga sebagai media
Sejak dahulu kala, inisiatif dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik untuk berperan serta dalam upaya peningkatan prestasi olahraga telah dirasakan oleh masyarakat.
Penekanan dari sejumlah media pun cukup beragam, mulai dari persoalan infrastruktur dan sarana olahraga, para stakeholder dalam hal ini termasuk di dalamnya atlet, pelatih, pembina, pengurus, pemerintah, dan seterusnya.
Inisiatif tersebut tentu saja senantiasa diawali sekaligus diikuti dengan fokus utama efektifitas secara internal. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kinerja para stakeholder dalam olahraga, dalam hal ini, media senantiasa menyuguhkan informasi yang sifatnya konstruktif-motivasion khususnya pada aspek metode dan proses dalam menggapai prestasi yang diharapkan.
Tuntutan akuntabilitas dan ekspektasi pihak yang berkepentingan terhadap upaya peningkatan prestasi olahraga juga senantiasa memerlukan inisiatif reformasi baru. Seiring dengan bergulirnya gelombang reformasi serta era globalisasi yang tentunya menekankan pada efektifitas penyelenggaraan pembinaan olahraga tak terkecuali disetiap jenjang pendidikan, dari dasar hingga perguruan tinggi. Ringkasnya, upaya yang dilakukan untuk meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan prestasi mampu terlaksana dengan baik.
Media pun sesungguhnya berupaya untuk melakukan pengembangan kebijakan yang ditujukan kepada penjaminan kualitas dan akuntabilitas terhadap stakeholder internal dan eksternal. Ciri utama dari gelombang informasi media tersebut antara lain penjaminan kualitas, pemantauan dan evaluasi, pilihan public, pelibatan dan partisipasi orang tua atlet dan masyarakat secara umum. Oleh sebab itu, dituntut agar senantiasa diadakan perbaikan struktur, organisasi kelembagaan, dan praktik penyelenggaraan pembinaan yang ada pada berbagai jenjang pendidikan termasuk pada jenjang perguruan tinggi itu sendiri.
Memasuki abad baru, terpaan transformasi-informasi serta isu global yang beragam demikian cepat melahirkan sekaligus menimbulkan berbagai persepsi, antara rasa optimis dan pesimis akan ketercapaian tujuan pencapaian prestasi. Selain itu, tantangan dan juga kebutuhan pada era globalisasi teknologi informasi menuntut paradigma baru dalam untuk melahirkan ide dan gagasan perubahan pada tujuan, isi, praktik penyelenggaraan dan manajemen olahraga itu sendiri.
Cheng (2001) mengungkapkan perlunya penekanan pada keefektifan pemenuhan dan relevansi fungsi pendidikan, yaitu fungsi ekonomi/teknis, fungsi social/manusia, fungsi politik, fungsi budaya,dan fungsi pembelajaran pada tingkat individu, lembaga, masyarakat, Negara, dan internasional. Seiring dengan itu pula, era globalisasi dengan sejumlah isu yang ada, kini mulai terasa dengan dimulainya pencarian visi baru dan tujuan dari pendidikan, jaringan pendidikan global, wawasan internasional, dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.
Melalui globalisasi dengan sejumlah isu global, prakarsa reformasi bertujuan untuk memaksimalkan relevansi global dan mendatangkan sumber dukungan dari berbagai penjuru dunia. Yang pasti, peranan media dalam berbagai isu sentral bertujuan mencapai peluang tak terbatas dalam pencapaian prestasi.
Terlebih dahulu kita harus melahirkan satu pertanyaan bahwa apakah ada kekuatan yang mempengaruhi perubahan dari gerakan Olympiade serta bagaimana para Pembina olahraga mampu mengelola kegiatan itu untuk menghadapi pengaruh kekuatan-kekuatan dari luar?
Dalam hal politisasi sungguh tidaklah mengherankan jika Helmut Kohl pernah mengatakan ; Even though sport is not practiced in an environtment free of politics, it may not tire in its endeavours to secure the necessary free range and open limits it required (dsb-information Nr.34 of 26.8.1986, dalam Prof.Wischmann,1992). Kendati olahraga tidak dilakukan dalam sebuah lingkungan yang bebas politik, namun olahraga itu tak henti-hentinya berupaya untuk menjamin urgennya keleluasaan ruang dan terbukanya batas-batas.
Belajar dari berbagai kasus yang tentu berkaitan dengan aksi boikot terhadap olympiade pada masa lalu, seperti di olympiade Montreal (1976), Moskow (1980), Los Angeles (1984) adalah merupakan contoh konkret bahwa sesungguhnya power politik yang dipraktekkan untuk mempengaruhi tatanan dunia, dimanfaatkan untuk menekan kegiatan olympiade.
Di Montreal, 19 negara Afrika dan 3 negara Arab dipanggil pulang oleh pemerintahnya atas saran dan masukan dari komite olympiade nasional masing-masing karena New Zealand diizinkan ikut serta yang pada sebelumnya New Zealand berpartisipasi dalam pertandingan olahraga melawan atlet-atlet dari Afrika selatan yang menyebabkan Negara ini dikucilkan dari arena olympiade sejak tahun 1962, tetapi juga menjadi konsekwensi dari meningkatnya power Afrika hitam dalam dunia politik. Dalam olympiade Barcelona 1992 yang lalu, Afrika Selatan kembali diterima berpartisipasi dalam olympiade setelah absent 30 tahun.
Dalam analisis Rosch (1980) dibukunya”Politik und Sport in Geschi Chte und Gegenwart” mengungkapkan bahwa dalam sejarahnya olahraga sering salah digunakan sebagai alat poltik. Penggunaannya sebagai alat politik ibarat benang merah sejak bangsa-bangsa pertama yang berbudaya misalnya Mesopotamia atau Mesir dan dari zaman antik Yunani dan Romawi hingga pada kondisi kekinian.
Lebih-lebih lagi karena olahraga dikenal secara meluas keseluruh dunia. Jutaan pemirsa televise dan pendengar radio, termasuk dari pembaca setia surat kabar mengikuti perkembangan kontes olahraga dalam olympiade, sehingga tentu saja kegiatan tersebut mnegandung makna politik yang kian penting.
Sehingga jika kita simak dengan baik dan seksama atas segala peristiwa tersebut, akar permasalahannya adalah, pertama, ketegangan politik yang terjadi diberbagai belahan dunia dan motif keterlibatan dalam kegiatan itu seperti nampak pada Negara berkembang yang selain didorong oleh motif social,maka olahraga juga dipandang sebagai suatu kebanggaan nasional dan alat untuk membangkitkan kepercayaan diri di forum internasional.
Selanjutnya dalam hal profesionalisme, perubahan substansial dalam olympiade adalah makin tipisnya limit antara amatirisme dan profesionalisme. Pada tahun 1923 misalnya, IOC gagal untuk memecahkan masalah atlet yang kehilangan penghasilan serta kompensasinya melalui ikatan profesional, dan IOC sama sekali melarang segala bentuk penggantian ongkos atau kehilangan penghasilan tersebut karena mengikuti persiapan untuk olympiade 1924. Pada saat yang bersamaan, guru ataupun pelatih juga dilarang pada saat itu untuk ikut berpartisipasi. Bahkan pelanggaran terhadap ketentuan amatir sekecil apapun akan memperoleh sanksi berat. Ada dua contoh kasus pada saat itu. Yang pertama adalah kasus Jago Penthalon dan Dekathlon dalam olympiade Stockhlom (1912), Jim Thorpe, yang kemudian diputuskan untuk tidak diakui hasil yang dicapainya dalam nomor tersebut dan dihukum seumur hidup lantaran yang bersangkutan bermain dalam pertandingan Bisball profesional, meskipun tanpa bayaran, selanjutnya kasus yang kedua adalah kasus pelari kenamaan Paavo Nurmi yang juga dihukum seumur hidup pada tahun 1932 karena memperoleh imbalan sehubungan dengan biaya yang telah dikeluarkan.
Ini berarti, fungsi profesionalitas secara umum dalam olahraga merupakan bidang pekerjaan specific yang tentunya dilaksanakan berdasarkan prinsip memiliki bakat,minat,panggilan jiwa, dan idealisme, memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu prestasi, keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia, memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas, memiliki kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan bidang tugas, memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan, memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan berlatih atau belajar sepanjang hayat, memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dan yang tak kalah urgennya adalah memiliki organisasi profesi dengan mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan.
Oleh karena itu, setiap stakeholder dalam organisasi olahraga mesti harus mampu merencanakan proses pengembangan prestasi yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil yang dicapai, selanjutnya meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi serta kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,teknologi, dan seni olahraga itu sendiri, lalu kemudian bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar berbagai pertimbangan jenis kelamin, agama, suku,ras,dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan juga status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran, dan yang terpenting lagi adalah berupaya menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika dan sekaligus dibarengi oleh semangat dan jiwa memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
2. Olahraga dalam politik
Dalam beberapa wacana atua pertemuan kadang muncul pertanyaan, dalam hingar bingar demokrasi yang ribut dan gaduh, apakah mungkin sebuah peristiwa olahraga bebas dari politisasi?
Mungkin ada yang menjawab tidak mungkin dipolitisasi. Tetapi, dalam dosis tertentu, olahraga agaknya memang harus dipolitisasi, apalagi sejarah membuktikan banyak peristiwa olahraga atau sepak terjang tokohnya menjadi gerakan politik atau berpengaruh secara politik.
Sebut saja apa yang dilakukan oleh petinju legendaris Mohammad Ali. Penentangannya untuk masuk wajib militer dan penolakannya dikirim ke Vietnam telah mendorong gerakan antiperang mencapai momentumnya
Keterlibatan tentara Amerika Serikat dalam Perang Vietnam dipersoalkan, terutama yang dikirimkan ke garis depan dan mati dalam kantong-kantong mayat umumnya adalah prajurit berkulit hitam.
Akhirnya, dengan sangat memalukan, Presiden AS Lyndon B Johnson menarik pasukan AS dari Vietnam setelah sekitar 58.000 tentara AS mati di rawa-rawa atau lubang-lubang tikus jebakan tentara Vietcong.
Akibat desakan gerakan antiperang yang antara lain dari tokoh seperti Mohammad Ali dan John Lennon dengan slogannya yang terkenal "Make Love, Not War", Menteri Pertahanan Robert S McNamara akhirnya mengakui apa yang dilakukan tentara AS di Vietnam adalah "It is wrong, terribly wrong".
Mohamad Ali pun kemudian dikenal bukan saja sebagai petinju tersohor, tetapi juga tokoh anti perang dan kampiun gerakan antidiskriminasi warna kulit.
Tan Joe Hok
Di Indonesia, tokoh olahraga nasional yang gerakannya berdampak politik signifikan adalah pebulutangkis tangguh Tan Joe Hok. Ia bisa disamakan dengan Mohammad Ali dalam upayanya memperjuangkan persamaan hak warga negara tanpa memperhitungkan asal-usul dan warna kulitnya.
Dalam buku "99 Tokoh Olahraga Indonesia" yang diterbitkan Perum LKBN Antara bekerjasama dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga itu bisa dibaca cerita prestasi, perjuangan, harapan dan cita-cita Tan Joe Hok.
Lelaki yang ditakdirkan sebagai keturunan Cina itu lahir di Bandung, 11 Agustus 1937, jauh sebelum Republik Indonesia lahir. Ia telah mengharumkan nama Indonesia lewat prestasi tingginya dalam bulutangkis.
Pada 1958, Joe Hok memperkuat tim Piala Thomas yang berhasil membawa pulang trofi kejuaraan dunia beregu putra.
Setahun berikutnya, ia mencetak sejarah dengan menjadi pebulutangkis Indonesia pertama yang menjuarai All England. Tidak cukup dengan itu, ia menyusul gelar itu dengan menjadi juara di Kanada dan Amerika Serikat yang membuat namanya menghiasi majalah olahraga terkenal "Sport Illustrated" edisi 13 April 1959.
Orang-orang di generasinya selalu memuja-muji Tan Joe Hok dan mengakuinya sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang membuat etnis Cina dan pribumi menyatu.Jika Anda hidup di masa atau generasinya, Anda akan menyaksikan masyarakat amat antusias menyaksikannya bertanding.
Nyaris semua orang berkumpul di rumah-rumah yang memiliki pesawat televisi. Mereka berdoa, harap-harap cemas, menonton pertandingan All England atau Piala Thomas, dan sesekali tepuk tangan berteriak mengelu-elukan jagoannya.
"Hidup Tan Joe Hok! Hidup Indonesia!" begitu masyarakat mendukung dan berada di belakang Tan Joe Hok. Tan Joe Hok membuat hubungan antaretnis Tionghoa dan pribumi di banyak tempat di Indonesia berjalan harmonis, sehingga dia dianggap pahlawan oleh banyak kalangan.
Sportivitas dunia politik
Satu hal lain yang harus didorong dari dunia olah raga ke dunia lain, terutama dunia politik adalah aspek sportivitas. Setiap atlet telah ditempa bahwa kalah menang dalam pertandingan adalah hal biasa. Yang penting adalah persiapan, latihan, dan memberikan yang terbaik.
Dalam dunia olahraga berlaku siapa cepat, siapa kuat, dia yang menang, yang juga merupakan motto Olimpiade, citius (lebih cepat), altius (lebih tinggi), fortius (lebih kuat). Siapa yang menang, dia yang terbaik.
Dalam dunia politik, kalah-menang menjadi tidak biasa. Politikus siap menang, tetapi belum tentu siap kalah. Itulah yang menyebabkan bangsa Indonesia, seperti disebut beberapa kalangan, sebagai bangsa yang ribut dan gaduh.
Oleh karena itu, sportivitas dalam dunia olahraga itu patut diadopsi pula oleh dunia politik, termasuk di Pansus DPR soal Bank Century. Itulah yang dimaksud politisasi olahraga.
3. Olahraga dalam ekonomi
Olahraga memang bermanfaat bagi kesehatan tubuh dan jasmani kita. Namun dibalik manfaat tersebut, olahraga juga mempunyai peluang bisnis yang menguntungkan.Apalagi jika melihat minat dan antusiasme masyarakat Indonesia terhadap kompetisi olahraga tingkat nasional maupun internasional sudah sangat tinggi. Hanya dengan sedikit polesan manajemen olahraga yang andal, sebuah pagelaran olahraga yang sehat akan menjadi lebih menarik dan memberikan keuntungan bisnis yang besar.Sayangnya, pagelaran olahraga selama ini tidak dikelola sebagai peluang bisnis yang dapat diraih dengan manajemen olahraga yang andal. Sehingga timbul kesan, pagelaran olahraga di Tanah Air masih sebatas ajang rekreasi tontonan dan ajang perjuangan untuk meraih pengakuan dunia internasional.
Padahal, peluang menghasilkan keuntungan bagi penyelenggara, federasi, atlet, dan sponsor masih sangat terbuka lebar. saat ini olahraga sudah menjadi makrokosmos ekonomi. Olahraga berperan fungsi sebagai media promosi dan kampanye pemasaran, baik itu menjadi ajang sasaran, pasar maupun sebagai komoditi. Fenomena ini seharusnya telah menyadarkan kita untuk menjadikan olahraga sebagai prime mover atau penggerak laju pertumbuhan ekonomi yang membuka kesempatan kerja, membuka peluang usaha dan ikut mensejahterakan masyrakat.
Di berbagai negara industri maju dan modern, seperti halnya di Amerika, Inggris, Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, Belanda, Jepang, Korea Selatan dan China, olahraga telah menjadi industri unggulan sebagai pemasok devisa negara.
Bahkan, di sana, para atlet begitu dihargai dan menjadi sebuah profesi profesional. Dengan ber-kaca dari keberhasilan negara-negara tersebut dan tingginya minat masyarakat dalam negeri terhadap pagelaran olahraga, bukan tak mungkin jika Indonesia juga mampu menjadikan olahraga sebagai industri unggulan. Olahraga yang telah dirancang sebagai tindustri modern yang berskala global, terbuktikan telah menjadi lokomotif atau multiplier effect terhadap tumbuhnya kegiatan bisnis baru, misalnya pariwisata, tempat hiburan, perhotelan, restoran, pengembangan usaha kecil terutama makanan dan minuman. Sehingga pada akhirnya itu semua dapat menciptakan lapangan pekerjaan.
Hal penting untuk maju dan berkembangnya bisnis olahraga akan mendorong penelitian dan pengembangan mutu teknologi olahraga, meningkatkan prestasi, serta memperbanyak kesempatan kerja. banyak orang mengasumsikan industri olahraga sebagai pembuat perlengkapan olahraga, bukan sebagai peluang bisnis yang bisa menghasilkan keuntungan. Jadi dengan ekonomi dalam olahraga ini kita akan merubah pandangan masyarakat tentang industri olahraga dan mulai melihatnya sebagai peluang bisnis.
4. Pariwisata Olahraga (Sport Tourism)
Pariwisata untuk olahraga (Sport tourism) menurut Spillane (1987:30) dapat dibagi dalam dua kategori yaitu : 1. Big sport events yaitu peristiwa-peristiwa olahraga besar seperti Olympic games, kejuaraan ski dunia, kejuaran tinju dunia dan olahraga lainnya yang menarik perhatian tidak hanya pada olahragawannya sendiri tetapi juga ribuan penonton atau penggemarnya. 2. Sporting tourism of the practicioners yaitu pariwisata olahraga bagi mereka yang ingin berlatih dan mempraktekkan sendiri seperti pendakian gunung, olahgarag naik kuda, berburu, memancing dan lain sebagainya.
Olahraga dan pariwisata merupakan dua disiplin ilmu yang dapat dipadukan sehingga memiliki kekuatan dan efek ganda bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada umumnya dan Sulawesi Utara pada khususnya. Oleh sebab itu olahraga pariwisata saat ini mendapat perhatian besar baik dari pihak pemerintah, swasta, industri olahraga, industri pariwisata, akademisi maupun masyarakat luas. Pertanyaannya adalah bagaimanakan olahraga dapat dikaitkan dengan pariwisata atau dengan kata lain bagaimanakah olahraga dapat dipresentasikan sebagai atraksi wisata sehingga menjadi industri olahraga pariwisata yang mendatangkan keuntungan? Sport Tourism atau Pariwisata untuk Olahraga merupakan paradigma baru dalam pengembangan pariwisata dan olahraga di Indonesia. Paradigma ini telah muncul sebelumnya yang dibuktikan dengan adanya terbitan jurnal internasional ”Sport Tourism” dan pengajaran.

No comments:

Post a Comment