Pasang Iklan

ads ads ads ads ads ads

Monday, 21 June 2010

Latihan Imajiner


Dalam proses pengajaran atau kepelatihan masih kuat kecendrungan bahwa guru atau pelatih lebih menitik beratkan pelaksanaan yang nyata Nampak dalam peragaan fisik. Dan memang harus diakui, salah satu metode terbaik untuk meningkatkan keterampilan yakni secara langsung mempelajari kegiatan yang dimaksud melalui kegiatan praktek secara berulang-ulang. Takanannya ialah pada “pembiasaan” fisik.
Dewasa inimulai kita kenal konsep latihan imajiner suatu istilah yang kira-kira sama pengertiannya dengan istilah lainya seperti mental practice, intropeksi atau konseptualisasi. Dalam buku ini kita pakai istilah latihan imajiner dengan maksud untuk membedakannya dengan latihan nyata yang nampak dalam peragaan fisik. Di lingkungan atlet-atlet keterampilan tinggi, latihan imajiner ini semakin populaer.Thomas Tutko,seorang psikolog dari San jose State University pernah mengatakan “latihan imajiner akan menjadi satu faktor paling penting dalam dunia olahraga selama tahun 1980-an” (tulisan Joel Greenberg dalam New York Times, 8 September, 1989). Berdasarkan laporan Joel tersebut.Tutko menjelaskan,dalam program latihan imajiner itu,atlet mengarahakan kemampuanya yang terbaik,makin lama makin baik hingga mencapai tingkat puncak.Tutko melukiskan gejala tersebut seumpama sebuah model computer dimana seseorang memprogram dirinya untuk melakukan sesuatu tugas sedemikian rupa.
Meskipun demikian,bagaimana peranan konseptualisasi dalam pembinaan keterampilan motorik masih jarang di selidiki. Barangkali,keadaan tersebut disebabkan karena penerapan imajiner kadalm pelaksanaan latihan keterampilan agak sukar dilakukan,sebab seseorang tak bisa secara langsung mengamati atau mengukur proses yang terjadi,kecuali hanya melalui penafsiran berdasarkan prilaku yang nampak.
Mengapa latihan imajiner di lakukan? Apa keuntunganya? Ada beberapa alasan utama yang membuat latihan imajiner patut diperhatikan atau dilakukan sebagai pelengkap bagi latihan tradisional.pertama,latihan imajiner bermanfaat untuk merangsang perkembangan penguasaan keterampilan dalam tempo yang cepat bahkan mungkin dalam tingkat retensi yang lebih besar.kedua,konseptulisasi keterampilan motorik yang akan di pelajari secara tidak langsung mengasa kemampuan kognitif atau kemampuan seseorang untuk berfikir.ini berarti,belajar motorik itu tidak berlangsung otomatis.ketiga,dalam keadaan kelas terlampau padat, atau fasilitas kurang maka latihan imajiner dapat di pakai sebagai latihan nyata.sambil menunggu giliran latihan yang nyata,para siswa dapat melakukan imajiner.
Pelaksanaan latihan imajiner bukan berarti sepenuhnya menganti latihan yang nyata.keduaduanya dapat di gabung untuk saling memperkuat.
1. perkembangan studi dalam latihan imajiner
Latihan imajiner atau sering juga di sebut rehearsal telah di cobakan. Hingga batas tertentu,hasilnya menunjukan efek positif terhadap kemajuan belajar.meskipunn sudah cukup meluas penggunaanya,tapi masalah latihan imajiner masih jarang di selidiki.untuk memperluas pandangan kita tentang latihan imajiner,dalam bagian ini akan kita tinjau selayang pandang perkembangan studi yang telah kita dilakukan,termasuk gambaran tentang kesimpulan umum atau generalisasi dalam masalah latihan imajiner.
Konsep mental rehearsal pertama kali muncul menjadi focus kajian kohler selama decade kedua dan ketiga abad ke-20.dia memuaskan perhatianya pada persoalan insight dalam kaitannya dengan psikologi insight gestalt.selain kohler, Tolman menjeelaskan bahwa belajar di hasilkan oleh latihan trial and eror yang terjadi kepada mental kepada seseorang.dia berpendapat mental rehearsal merupakan elemen penting dalam belajar (Oxendine,1984).
Seperti apa yang dilakukan para ahli dalam dalam kegiatan meneliti masalah transfer, metode untuk meneliti masalah latihan imajiner adalah eksperimen. Desain yang lazim dipakai yakni desain kelompok parelel. Penelitian tentang bagaimana kaitan antara aktivitas mental dan penampilan gerak telah berlangsung lama sekurangnya telah dimulai pada tahun 1890. Hanya saying, kebanyakan studi terdahulu kurang memperhatikan control yang cermat terhadap aktifitas mental rehearsal.
Shaw (1938) menemukan bahwa atlet mengangkat besi menunjukkan aksi otot ketika mereka membayangkan diri sedang mengangkat beban. Dia melaporkan seberapa jauh kedalaman imajinasi atau intensitas kegiatan berfikir mengenai beban yang akan diangkat memiliki kaitan dengan peningkatan aksi otot.
Dalam studi yang dilakukan Corbin (1965) terungkap, pelaksanaan latihan imajiner tak ada efek jika terpisah dengan latihan nyata. Hal ini juga didukung oleh kesimpulan Trussel (1958) yang menyatakan mental rehearsal tidak efektif kecuali jika digabung dengan latihan nyata.beberapa studi juga dilakukan mencakup tugas gerak yang bermakna atau yang lazim dilakukan oleh subjek. Desain eksperimennya juga serupa yakni ada kelompok eksperimen dan ada kelompok kontrol. salah satu contoh studi klasik tentang efek latihan imajiner dilakukan oleh Vandell, Davis dan Clugston (1943). Sampel penelitian terdiri dari para siswa sekolah menengah pertama,menengah atas,dan mahasiswa dengan tugas yakni keterampilan bola basket.ketiga kelompok lainnya juga di seimbangkan,berlatih dalam melempar bulu ayam.
Selanjutnya,semua subjek memperoleh tes penguasaan keterampilan dalam lemparan bebas bola basket dan lemparan bulu ayam pada hari pertama dan ke-20.Namun demikian,sejak hari kedua hingga ke Sembilan: (1) satu kelompok terlibat dalam latihan nyata setiap hari; (2) kelompok lain memperoleh latihan imajiner melempar bola basket atau bulu ayam selama 15 menit; dan (3) kelompok ketiga tidak melakukan latihan nyata atau imajiner,Pada waktu tes di laksanakan pada hari ke-20,kelompok yang melakukan latihan nyata dan imajiner memperlihatkan peningkatan keterampilan yang berarti (signifikan) jika di bandingkan dengan hasil tes pada hari pertama. Banyaknya peningkatan serupa pada kedua kelompok.Tapi pada kelompok yang sama sekali tak memperoleh latihan tidak terjadi peningkatan hasil yang di peroleh dari tugas gerak melempar bola basket dan bulu ayam.Akhirnya si peneliti berkesimpulan, dalam eskperimen, latihan imajiner efektivitasnya tidak berbeda dengan latihan nyata melalui peragaan fisik guna meningkatkan penampilan keterampilan.Penelitian tersebut merupakan contoh dari sejumlah penelitian lain tentang pengaruh latihan imajiner.Bagaimana efeknya terhadap para siswa atau atlet di Indonesia, isu latihan imajiner ini menarik untuk di selidiki. Sebagaimana subvariabel berangkali dapat di munculkan,misalnya jenis kelamin, tingkat usia,latar belakang pengalaman,dan lain-lain yang di anggap relevan.
Persoalan lainnya ialah,apakah ada efek intelegensi terhadap kemampuan seseorang untuk melaksanakan konseptualisasi atau latihan imajiner? Studi yang di lakukan Start (1960) misalnya, mengetengahkan bukti empiric kelompok yang tinggi intelegengsinya (IQ dari 106-117) tidak memperlihatkan kemampuan yang lebih baik dalam mental rehearsal ketimbang kelompok yang rendah intelegensinya (IQ dari 83 hingga 105).
2. Teknik Melaksanakan Latihan Imajiner
Barangkali persoalan paling penting tidak hanya soal kosep dan bukti-bukti tentang pengaruh latihan imajiner terhadap penampilan gerak seseorang, tapi bagaimana caranya pelaksanaan latihan imajiner itu sendiri. Jika latihan imajiner memang efektif, tentu harus ada suatu prosedur yang dapat menjadi pegangan bagi para pemakainya baik dia atlet, guru atau pelatih. Namun sayangnya, prosedur standar belum dapat. Bahkan tak ada orang yang mampu mengontrol atau mengukur dengan eksak kadar dan tipe aktivitas mental yang dilakukan melalui latihan imajiner (Oxendine, 1984).
Meskipun demikian, prosedur yang telah ditetapkan dalam pelaksanaan latihan imajiner itu dapat di bagi menjadi dua tipe :
1. Tehnik yang lazim dipakai dalam kondisi eksperimen.
2. Tehnik praktis yang lazim diterapkan dalam situasi informal.
Dalam studi yang dilakukan Clark (1960) tekanan utama ialah pada penyampaian pengertian mengenai keterampilan sebelum latihan imajiner dilakukan focus kegiatan ialah, para siswa memperoleh pengertian yang jelas tentang bagai mana cara dan pola gerak yang akan dilakukan. Hal itu berdasarkan anggapan clark, bahwa pemahaman merupakan faktor esensial dalam latihan keterampilan. Bagaimana prosedur yang dilakukannya ketika melakukan eksperimen lemparan bebas dalam bola basket. Pertama, para siswa membaca petunjuk tertulis tentang tehnik yang benar. Kemudian, dia melangkah ke garis tembakan hukuman dan memberikan contoh serta memberikan penjelasan tentang bagaimana caranya melakukan tembakan hukuman yang benar. Hal itu dilakukan tampa bola melalui peragaan lambat. Selang beberapa saat kemudian, subjek diminta ubtuk mengingat kembali bagai mana pola gerak dari keterampilan melempar dalam tembakan bebas. Clark menganjurkan pada siswanya untuk membayangkan dirinya melakukan tehnik tersebut dan merasakan gerakan sambil menutup matanya. Kemudian subjek melakukan 25 kali tembakan. Bagaiman efeknya ? para siswa melaporkan, bahwa meraka memperoleh kepercayaan diri yang lebih besar melalui metode latihan imajiner. Mereka juga menyatakan bahwa tehnik tersebut memungkinkan mereka untuk membayangkan atau memvisualisasikan keterampilan secara lebih efektif dan secara langsung dapat mengenal respons yang salah atau gerak yang tidak benar.
Dalam studi yang di lakukan Strat (1960) pelatih mula-mula memberikan penjelasan dan conton dan kemudian subjek diminta untuk membayangkan diri mereka melakukan keterampilan tersebut. Kemudian, subjek diminta untuk secara mental melaksanakan keterampilan lemparan bebas tanpa deskripsi lisan. Dalam studi Harby (1952) gambar hidup dimanfaatkan sebagai usaha untuk merangsang aktivitas mental subjek. Dipercaya, cara itu sama efeknya dengan pemberian contoh.
Persoalan berikutnya adalah nbagaimana kita mengontrol respons perilaku siswa terhadap tugas-tugas yang dianjurkan dalam latihan imajiner. Ini berarti, harus di identifikasi tpe-tipe respons yang sering berlangsung. Tipe respon dalam latihan imajiner mdapat dikategorikan menjadi tiga : (1) Respon visual (2) Peragaan Sikap Tubuh sesuai dengan tehnik yang sebenarnya (3) gerakan badan itu sendiri. Dalam pelaksanaan latihan imajiner kebanyakan cara yang lazim yaitu dengan mata dipejamkan. Bahkan ada juga yang mempergunakan gerakan mata untuk mengikuti jalannya gerakan yang terjadi, seperti mengikuti perjalanan bola yang ditendang atau dilempar. Rupanya, mata yang dipejamkan itu ada kaitannya dengan konsentrasi sambil seseorang membayangkan dalam benaknya pola-pola gerak yang sebenarnya.

Meskipun subjek biasanya tidak diperkenankan bergerak selama melakukan latihan imajiner. Tapi ada juga yang melaksanakannya dengan sikap tubuh tertentu seperti badan condong ke depan atau ke belakang, kepala digerak-gerakkan dan sebagainya. Yang penting ialah, tidak ada gerakan nyata yang menyerupai tehnik sebenarnya. Dalam keterampilan menembakan bola ke gawang sepak bola atau melempar bola ke ring bola basket, lamanya latihan imajiner kira-kira sama dengan lamanya pelaksanaan itu sendiri. Jadi, sukar ditetapkan bagaimana prosedur standar terutama yang berkenaan dengan respon sipelaku.
Pelaksanaan latihan imajiner memang membutuhkan tuntutan praktis. Cara yang sudah pernah diterapkan : (1) secara mental mereview keseluruh penampilan gerak dan mencoba untuk menemukan rasa gerak dan kunci-kunci lainya yang erat kaitannya dengan pelaksanaan gerakan nyata. (2) rehearshal secara formal atau informal di antara periode kerja. (3) pembuatan keputusan yang bertalian dengan strategi atau tahap konseptualisasi suatu kegiatan (Oxendine, 1984).
Dalam tehnik review, yang dilakukan seseorang yakni mirip dengan pemutaran kembali gambar-gambar hidup yang terbayangkan dalam benaknya. Hal ini dapat berkenaan dengan keseluruhan pola tehnik sejak awal hingga akhir atau tentang bagian-bagian tertentu. Seseorang pesenam misalnya dapat melakukan mental rehearsal berupa pemtaran kembali bayangan tentang cara melakukan elemen tehnik dan keseluruhan rangkaian gerak sejak awal hingga selesai. Proses review tersebut dapat diperkuat dengan analisis tentang bagian yang dianggap kritis hatau mungkin tentang elemen gerak yang dianggap kurang terkuasai dengan baik.
Disela-sela waktu melakukan gerakan nyata seperti setelah seseorang gagal melakukan service dalam tennis misalnya dia dapat melakukan mental rehearsal dengan tujuan untuk melihat kembali gerakan yang telah dilakukannya dan gerakan kesalahan terutama dalam hal lemparan bola terlampau rendah.

Bentuk lain dari aktivitas mental yang lazim khususnya dalam pertandingan olahraga ialah membuat keputusan yang sesuai dengan situasi. Penetapan strategi atau taktik bermain membutuhkan kecepatan untuk mengolah informasi, sehingga kemampuan rehearsal khususnya dalam upaya mencari kaitan antara beberapa gejala meerupakan kemampuan yang dominan. Kelebihan seseorang atlet berprestasi biasanya dalam hal kecepatannya untuk membuat keputusan dan melakukan koreksi terhadap kesalahan. Hal ini membutuhkan kemampuan koseptualisasi yang kuat. Karena itu ada anggapan, mungkin sesekali intelegensia ada kaitanya dengan kemampuan menganalisis peragaan gerak yang telah berlalu dengan cepat.

No comments:

Post a Comment