Pasang Iklan

ads ads ads ads ads ads

Friday 27 August 2010

KRISIS IDENTITAS DALAM PENDIDIKAN JASMANI

        Eksplorasi status identitas pendidikan jasmani akan menjadi titik pemberangkatan diskusi dalam tulisan ini. Menurut O'Connor dan Macdonald, Identitas di sini-dipahami untuk merujuk pada identitas diri (self-identity)-
merupakan suatu kerangka referensi bagaimana posisl individu dan memahami diri mereka mengikuti suatu tradisi sosiologi dari pada psikologi (20O2: aI). Dengan kerangka pemikiran ini, tulisan ini kemudian akan dimulai dari posisi pendidikan jasmani di antara peta politik nasional.
      Adanya kementerian olahraga dan pemuda sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono membawa perubahan peta organisasi pendidikan jasmani. Dimulai saat kepemerintahan Gus Dur dan kemudian Megawati, peran menteri olahraga digantikan oleh direktorat jenderal olahraga. Tentu saja hal ini menguntungkan sebab direktorat ini berada di bawah menteri pendidikan nasional di mana pendidikan jasmani mendapat porsi pengelolaan dan pengembangan yang sangat memadai (Muthohir, 2OO4).                                     Namun setelah olahraga menjadi kementerian maka organisasi macam apa yang akan mengelola pendidikan jasmani masih menyisakan pertanyaan. Nampaknya hanya ada kemungkinan yang sangat kecil bila masih ada organisasi selevel direktorat jenderal. Artinya pengelolaan pendidikan jasmani akan dikembalikan pada posisi yang sama dengan mata pelajaran yang lain. Akibatnya akan terjadi pemotongan anggaran yang sangat besar terhadap pengelolaan pendidikan jasmani. Tidak akan lagi ada subsidi pembinaan pendidikan jasmani, pengadaan dan pendistribusian Compact Dlsc (CD) model pendidikan jasmani, penerbitan jurnal pendidikan jasmani, pelatihan, konferensi internasional (Muthohir, 2OO4) sepertiyang dulu pernah dilakukan oleh direktorat jenderal olahraga.
       Persolaan ini menjadi semakin pelik ketika persoalan-persoalan lain yang dihadapi pendidikan jasmani
selama ini. Beberapa persolaan tersebut adalah (1) adanya desakan untuk penyelenggaraan mata pelajaran baru semacam informasi teknologi (IT). Hal ini akan membawa pada kritisnya posisi pendidikan jasmani yang dianggap bukan pelajaran "penting" untuk digusur oleh mata pelajaran baru yang urgen untuk diberikan kepada siswa. Anggapan tidak penting ini bukan hanya fenomena di negara berkembang tetapi juga negara maju.                Seperti Singapura misalnya (McNeill dkk), sangat jelas dalam desain sekolah bahwa pendidikan jasmani dan olahraga bukan menjadi hal yang penting (2003: 49). Hal ini berakar pada (2) skeptisisme outcome pembelajaran pendidikan jasmani. Para pakar pendidikan jasmani di perguruan tinggi terlalu sibuk dengan pernyataan bahwa pendidikan jasmani mampu menjadi alat ampuh dalam membangun karakter bangsa, moral, disiplin dan nilai positif lainnya tetapi lupa untuk meneliti keampuhannya tersebut. Penelitian pendidikan jasmani
selama ini terlalu positivistik yang menumpulkan kemampuannya untuk menggali masalah-maslah tersebut di atas (Setiawan, 2004, Silverman, 2003). Dalam konstelasi ini, (3) posisi pendidikan jasmani dalam kurikulum sekolah menjadi rapuh. Sehingga pada gilirannya, (4) krisis identitas profesi pendidikan jasmani tidak terelakkan lagi sebagai bagian dari krisis multidemensional yang dihadapi pendidikan jasmani (Thorpe, 2003: 131)
 
Pendidikan Jasmani dan Kebutuhan Legitimasi Baru

        Peta persoalan di atas barangkali merupakan pekerjaan rumah bagi mereka yang terlibat dalam pendidikan jasmani.
        Dengan kata lain, pendidikan jasmani membutuhkan legitimasi baru untuk reposisi dan revitalisasi eksitensinya. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendefinisikan persoalan utama atas persoalan-persoalan permukaan di atas. Menurut Crum (2003) komunitas pendidikan jasmani tidak secara nyata menerima dan memberikan prioritas dalam kosmologi nilai profesionalnya untuk proposisi bahwa fungsi utama seorang guru pendidikan adalah untuk membantu siswa belajar. Banyak guru pendidikan jasmani yang tidak terlalu berkomitmen dan terdorong untuk "mengajar" sebagai suatu yang esensial dari usaha pendidikan jasmani. Keadaan ini semakin diperparah oleh beberapa salah konsep tentang pendidikan jasmani. Salah konsep ini akan membawa pada ketidak tepatan kebijakan, program dan praksis pendidikan jasmani di tingkat sekolah. Setidaknya ada dua salah konsep dalam pendidikan jasmani (Crum, 2003). Pertama, pendidikan jasmani dikonsepsikan secara biologistik (pelatihan-dari- jasmani). Cara pandang konsep biologis ini adalah bahwa pendidikan jasmani merupakan pelatihan-dari-jasmani. Konsep yang berasal dari "gimnasium
swedia" ini memiliki konsep tubuh bahwa tubuh merupakan sebuah mesin/ instrumen. Artinya, tubuh adalah suatu kumpulan instrumen yang memiliki fungsinya masing-masing dan bekerja untuk satu keseluruhan sistem.          Dalam pandangan ini tubuh perlu direparasi dan ditingkatkan kinerjanya melalui latihan jasmani. Menurut konsep ini pendidikan jasmani merupakan mata pelajaran yang berfungsi untuk mengkompensasi kekurangan gerak atau mata pelajaran untuk melatih "organisme". Menurut Gleyse dkk tujuannya adalah, sebagaimana diformulasikan dalam terminologi efek latihan, peningkatan daya tahan kardiovaskular, kekuatan dan daya tahan otot, kelentukan, dan lain sebagainya yang pada dasarnya merujuk pada aktifitas olahraga yang energik (2002:5).
       Dengan demikian isi pembelajarannya merupakan latihan-latihan yang diklasifikasikan menurut efek latihan dan bagian-bagian tubuh. Oleh karena itu bagi siswa, tidak ada tugas pembelajaran akan tetapi tugas latihan. Sedangkan guru pendidikan jasmani yang memiliki konsep ini akan mengevaluasi "produknya" dengan cara-cara semacam tes kebugaran jasmani (fitnest fest). Kedua, cara pandang tentang pendidikan jasmani yang berasal dari konsep pedagogistik (pendidikan-melalui-gerak). Asal usul pandangan ini adalah sekolah austria dengan filsafat philantropisme. Konsep pedagogistik ini memilki konsep tubuh di mana tubuh sebagai "entry" ke arah pemikiran, karakte4 dan kepribadian. Pendidikan jasmani menurut konsep ini adalah mata pelajaran yang berfungsi untuk mendidik atau membentuk individu (bergerak untuk belajar). Tujuan yang ingin dicapai oleh usaha pendidikan jasmani  dalam kerangka konsep ini diformulasikan dalam terminologi pedagogi umum yang
abstrak, samar-samar, dan tidak jelas. Isi pembelajarannya merupakan aktifitas- aktifitas tradisional seperti permainan, gymnastic, dan senam. Sedangkan prinsip metodik utamanya adalah ide "formasi fungsional". Artinya, memberikan kesempatan untuk beraktifitas di dalam keteraturan/ harmoni yang baik. Cara untuk mengevaluasi pembelajaran dalam konsep ini tidak menggunakan evaluasi "produk" seperti dalam konsep bioloistik akan tetapi menggunakan evaluasi proses. Guru pendidikan jasmani  akan berfokus pada evaluasi atmosfe; keteraturan, dan orientasi anak dalam pembelajarannya.
        Meskipun konsep "pelatihan-dari-jasmani" dan "pendidikan-melalui- jasmani" tersebut di atas memiliki beberapa perbedaan, ada beberapa hal yang menjadi kesamaannya. Kesamaan-kesamaan tersebut adalah (1) kedua konsep tersebut didasarkan atas dualisme tubuh dan jiwa (body and mind). Artinya, keduannya menganggap bahwa antara tubuh dan jiwa merupakan identitas yang terpisah satu sama lainnya. Pandangan dualisme ini berasal dari gagasan filsafat Cartesian dengan tasbihnya cogito ergo sum di awal modernisme.                 Filosofi ini kemudian mendasari cara berpikir modern yang membawa dunia pada gegap gempita teknologi dan kapitalisme. Pandangan ini mereduksi manusia menjadi semata mesin yang mekanistik adan pada gilirannya dianggap telah gagal mengakomodir totalitas kemanusian. (2) Baik di dalam konsep biologistik dan pedagogistik, gerak bukan merupakan tujuan tetapi merupakan cara dari tindakan intervensi. (3) Dalam dua konsep tersebut gagasan tentang kompensasi merupakan hal yang utama. (4) Keduanya  juga dicirikan oleh kuatnya retorika dan klaim'mewah'tentang outcome pembelajarannya. (5) Konsep-konsep tersebut mengakibatkan praktek-praktek pendidikan jasmani yang bersifat non pengajaran, misalnya konsep biologis mengarah pada pendidikan jasmani sebagai pelatihan kebugaran dan konsep pedagogistik mengarah pada pendidikan jasmani sebagai waktu "istirahat"/ hiburan yang berada di bawah pengawasan. (6) Kedua konsep tersebut hanya berorientasi pada satu aspek saja. Misalnya, konsep biologis berorientasi pada jasmani saja. Padahal tidak mungkin kita mendidik jasmani, tapi kita mendidik manusia,/ person. Sebaliknya, pandangan pedagogistik terlalu menganggap bahwa jasmani hanya jalan/ alat saja untuk mendidik aspek di luar jasmani.
Oleh karena itu, pada akhirnya, beberapa argumentasi di atas memunculkan beberapa pertanyaan. Pertanyaan yang harus dijawab oleh kalangan pendidikan jasmani.  Tiga pertanyaan yang muncul kemudian adalah; (1) apa identitas pendidikan jasmani  sebagai mata pelajaran yang memiliki klaim legitimasi di sekolah saat in?, (2) Outcome seperti apakah yang secara layak dapat memenuhi permintaan masyarakat atas pendidikan jasmani?, (3) bagaimana caranya memutus lingkaran setan tersebut? Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas perlu dibangun tesis tentang pendidikan jasmani.  menurut Crum (2003) thesis-thesis tersebut adalah thesis 1; di dalam masyarakat modern, partisipasi dalam aktifitas  jasmani dan olahraga menyumbang qualitas hidup masyarakat. Thesis 2, partisipasi yang tetap bertahan dan menyenangkan menyaratkan seperangkat kompetensi; kemahiran sejumlah perangkat tersebut mensyaratkan proses pengajaran dan pembelajaran yang terorganisir dengan baik. Thesis 3, sudah menjadi kenyataan bahwa setiap anak pergi ke sekolah setidaknya untuk 12 tahun dan  juga mencakup pertimbangan bahwa sekolah dapat mengelola guru profesional, kunci kekuatan yang berkenaan dengan pengenalan terencana terhadap aktifitas jasmani dan olahraga harus di tangan sekolah (Fox, Cooper,McKenna, 2004: 338).
       Berangkat dari ketiga thesis itulah legitimasi pentingnya pendidikan jasmani harus mulai digarap. Usaha yang perlu dilakukan kemudian adalah mencari konteks di aman pendidikan jasmani diselenggarakan. Setidaknya ada tiga sub-konteks yang perlu yakni teknologi, kultur, dan demografi. Dengan konteks ini maka akan dapat dipetakan potensi maupun hambatan penyelenggaraan. Krisis legitimasi pendidikan jasmani selama ini juga disebabkan oleh kegagalanya mencari kontekstualiatas tersebut di atas. Misalnya, kegagalan mengakomodir kultur atau budaya kontemporer sebagaimana ditandaskan oleh Green bahwa banyak retorika dari kalangan pendidikan jasmani  dan pemerintah yang berhubungan dengan olahraga di sekolah dan pendidikan jasmani beberapa tahun belakangan ini telah gagal untuk mempertimbangkan secara memadai atau, untuk masalah tersebut, mengakui trend-trend dalam olahraga dan aktifitas  jasmani dan perkembangan gaya hidup di antara para remaja dan dewasa (2004:73).
       Sehingga dengan mengacu pada konteks tersebut, pendidikan jasmani harus mampu menjadi alat pembangunan dengan cara sebagai alat pendorong partisipasi dalam aktifitas jasmani (Tappe dan Burgeson, 2OO4: 281). Sebab, partisipasi di dalam aktifitas jasmani  adalah faktor yang penting untuk meningkatkan kualitas hidup. Sedangkan partisipasi dalam aktifitas jasmani dan olahraga didasarkan atas pengalaman "aku cukup kompeten". Sebab,sebagaimana ditegaskan oleh Green, apa nilai dari suatu masyarakat cenderung dibentuk oleh apa yang menjadi pengalaman dan juga kompetensi mereka (2OO2: 68). Hal tersebutlah yang seharusnya disediakan oleh pendidikan jasmani.Selain itu partisipasi mensyaratkan kompetensi untuk mengatasi masalah- masalah yang berkaitan dengan isu-isu semacam:
1. "aku-tubuhku (pengalaman)-latihan/ permainan/ olahraga/ senan- bersama dengan yang lain-prestasi, rekreasi, kesehatan".
2. Kompetensi-kompetensi tersebut tidak datang begitu saja secara alami. Kompetensi-kompetensi tersebut harus diperoleh melalui belajar. 
3. Pelajaran pendidikan jasmani  dan extrakulikuler olahraga harus dapat menyumbnag pada; Kompetensi siswa untuk mengatasi masalah- masalah teknomotor. 
4. Kompetensi siswa untuk berhubungan dan mengatasi masalah-masalah sosiomotor. 
5. Peningkatan pengetahuan dan kapasitas reflektif siswa, kebutuhan untuk menguasai masalah di dalam konteks olahraga yang ditentukan oleh aturan main, yang dapat dan sedang berubah. 6. Perkembangan hubungan afektif yang positif dengan (pembelajaran yang berkenaan) dengan latihan jasmani, permainan, dan olahraga.
7. Pengkayaan kehidupan sekolah di sisi dan kini dengan menyediakan kesempatan untuk permainan yang menyenangkan.
8. Outcome yang diharapkan dari pendidikan jasmani adalah pembelajaran teknomotor, pembelajaran sosiomotor, pembelajaran kognisi dan refleksi, pembelajaran afektif
      Dari pemikiran di atas maka pendidikan jasmani harus mampu menangkap keseluruhan gagasan tersebut dan diimplementasikan secara sistematis berkelanjutan. Dengan demikian pendidikan jasmani  memiliki legitimasi baru yang lebih kuat dalam mengetengahkan dirinya menjadi entitas yang dapat dipertimbangkan penting karen akontribusinya terhadap kualitas hidup masyarakat.

Kesimpulan
Selama ini disadari ataupun tidak, pendidikan jasmani mengalami apa yang disebut sebagai krisis identitas. Krisis ini menjadi persoalan ketika kalangan pendidikan jasmani membiarkan begitu saja. Sebab krisis identitas akan menggerogoti apa yang menjadi bangunan kekuatan pendidikan jasmani. Krisis ini bisa berawal dari dalam pendidikan jasmani itu sendiri. Dalam kondisi di mana pendidikan jasmani mengalami krisis identitas maka pencarian legitimasi baru menjadi urgen. Di sinilah kemudian, pendidikan jasmani membutuhkan curahan pemikiran yang serius. Usaha ini akan membangun legitimasi baru bahwa pendidikan jasmani adalah penting untuk tetap diselenggarakan.

Daftar Pustaka
Azzarito, Laura & Catherine D. Ennis. (2003). A Sense of Connection: Towards Social Constructivist Physical education. Sport, Education, and Society, Vol 8, No. 2. Oktober 2003.

Crum, Bart. (2003). To Teach or Not To Be, That is The Question; Reflections on The Identity Crisis and The Future of Physical Education. Makalah disampaikan pada Seminar Pendidikan Jasmani, 15 September 2003, di Yogyaka rta. 

Fox, Kenneth R, Ashley Cooper, & lim McKenna. (2004). The School and the Promotion of Children's Health-Enhancing Physical Activity: Perspectives from the United Kingdom. Journal of Teaching in Physical Education, Volume 23, nomor 4, hal 338-358. 

Gleyse, J., C. Pigeassou, A. Marcellini, E. De Leseleuc & G. Bui-Xuan. (2002). Physical Education as a Subject in France (School Curriculum, Policies and Discourse): The Body and the Metaphors of the Engine-Elements Used in the Analysis of a Power and Control System during the Second Industrial Revolution. Sport, Education, and Society, Vol 7, No. 1.

Green, Ken. (2004). Physical Education, Lifelong Participation and'the Couch Potato Society'. Physical Education and Sport Pedagogy, volume 9, number 1,May 2004.

(2002). Physical Education Teacher in their Figuration: A Sociological Analysis of Everyday'Philoshopies'. Sport, Education, and Society, Yol 7, No. 1. March 2002.

McNeiil, Mike, John Sproule & Peter Horton. (2003). The Changing Face of Sport and Physical Education in Post-Colonial Singapore. Sport, Education, and Society, Vol. 8, No. 1. March 2003. 

Muthohir, Toho Cholik. (2004). Bangunan Slstem Keolahragaan Nasional. Makalah disampaikan pada Musornas ISORI, 20 April 2004, di Yogyakarta.
 
O'Connor, Angela and Doune Macdonald. (2002). Up Close and Personal on Physical Education Teacher's ldentity: Is Conflict an Issue?. Spoft, Education, and Society, Vol 7, No. 1. March 2002.

Setiawan, Caly. (2004). Kinerja Penelitian Di Jurusan Pendidikan Olahraga: Suatu Investigasi Penelitian Tahun 1994*2004. Laporan peneltian

Sifverman, Stephen dan Mara Manson. (2003). Research on Teaching in Physical Education Doctoral Desertations: A Detailed Investigation of Focus, Method, and Analysis. Journal of Teaching in Physical Education, Volume 22, nomor 3, hal 2BO-29].

Tappe, Marlene K. & Charlene R. Burgeson. (2004). Physical Education: A Cornerstone for Physically Active Lifestyles. Journal of Teaching in Physical Education, Volume 23, nomor 4, hal 28I-299.

Thorpe, Stephen. (2003). Crisis Discourse in Physical Education and the Laugh of Michel Foucault. Sport, Education, and Society, Vol 8, No. 2. Oktober 2003.

No comments:

Post a Comment