Pasang Iklan

ads ads ads ads ads ads

Monday, 15 March 2010

PEMBINAAN DAN EFEK REINGELMANN TIM

BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Sebelum kita membahas lebih jauh masalah psikologi dalam olahraga ada baiknya kita mengetahui apa sebenarnya itu psikologi maupun olahraga dan adapun yang dimaksud psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya, mulai dari perilaku sederhana sampai yang kompleks. Perilaku manusia ada yang disadari, namun ada pula yang tidak disadari, dan perilaku yang ditampilkan seseorang dapat bersumber dari luar ataupun dari dalam dirinya sendiri.
Ilmu psikologi diterapkan pula ke dalam bidang olahraga yang lalu dikenal sebagai psikologi olahraga. Penerapan psikologi ke dalam bidang olahraga ini adalah untuk membantu agar bakat olahraga yang ada dalam diri seseorang dapat dikembangkan sebaik-baiknya tanpa adanya hambatan dan factor-faktor yang ada dalam kepribadiannya. Dengan kata lain, tujuan umum dari psikologi olahraga adalah untuk membantu seseorang agar dapat menampilkan prestasi optimal, yang lebih baik dari sebelumnya.
Setelah kita mengetahui apa itu psikologi lantas mengapa psikologi dimasukkan dalam olahraga?, dan psikologi dimasukkan dalam olahraga disebabkan Meningkatnya stres dalam pertandingan dapat menyebabkan atlet bereaksi secara negatif, baik dalam hal fisik maupun psikis, sehingga kemampuan olahraganya menurun. Mereka dapat menjadi tegang. denyut nadi meningkat, berkeringat dingin, cemas akan hasil pertandingannya, dan mereka merasakan sulit berkonsentrasi. Keadaan ini seringkali menyebabkan para atlet tidak dapat menampilkan permainan terbaiknya. Para pelatih pun menaruh minat terhadap bidang psikologi olahraga, khususnya dalam pengendalian stres.
Psikologi olahraga juga diperlukan agar atlet berpikir mengenai. mengapa mereka berolahraga dan apa yang ingin mereka capai? Sekali tujuannya diketahui, latihan-latihan ketrampilan psikologis dapat menolong tercapainya tujuan tersebut melihat alas an tersebut maka nyatalah bahwa psikologi sangat diperlukan dalam pengembangan bagi olahraga itu sendiri selain itu psikologi juga sangat berperan penting dalam mengatasi masalah REINGELMANN EFFECT DAN PEMBINAAN TIM yang akan kita bahas lebih jauh lagi dalam bab selanjutnya.

B. MANFAAT
 Memberi gambaran pentingnya psikologi dalam pengembangan keolahragaan
 Dapat dijadikan sebagai salah satu bahan diskusi, dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan yang menyangkut psikologi olahraga menuju kepencapaian prestasi.
 Sebagai salah satu persyaratan tugas akhir dari perkuliahan psikologi olahraga
BAB II
PEMBAHASAN
Taylor (2009), menjelaskan bahwa untuk mencapai hasil maksimal dalam sebuah pertandingan atau kompetisi diperlukan beberapa komponen psikologi yang tersusun dan berkaitan satu dengan lainnya. Berikut adalah visualisasi komponen tersebut.
Sebelum membahas lebih dalam mengenai komponen-komponen tersebut, Taylor (2009) menjelaskan bahwa komponen motivasi dan kepercayaan diri lebih berpengaruh pada tahap persiapan sebelum berlatih dan bertanding, sedangkan komponen kekuatan/daya tahan, fokus, dan emosi berpengaruh lebih besar pada performa saat latihan dan bertanding
Mental yang tegar, sama halnya dengan teknik dan fisik, akan didapat melalui latihan yang terencana, teratur, dan sistematis. Dalam membina aspek psikis atau mental atlet, pertama-tama perlu disadari bahwa setiap atlet harus dipandang secara individual, yang satu berbeda dengan yang lainnya. Untuk membantu mengenal profil setiap atlet, dapat dilakukan pemeriksaan psikologis, yang biasa dikenal dengan “psikotes”, dengan bantuan psikometri.
Profil psikologis atlet biasanya berupa gambaran kepnbadian secara umum, potensi intelektual. dan fungsi daya pikimya yang dihubungkan dengan olahraga. Profil atlet pada umumnya tidak berubah banyak dari waktu ke waktu. Oleh karenanya, orang sering beranggapan bahwa calon atlet berbakat dapat ditelusun semata-mata dari profil psikologisnya. Anggapan semacam ini keliru, karena gambaran psikologis seseorang tidak menjamin keberhasilan atau kegagalannya dalam prestasi olahraga, karena banyak sekali faktor lain yang mempengaruhinya. Beberapa aspek psikologis dapat diperbaiki melalui latihan ketrampilan psikologis (diuraikan kemudian) yang terencana dan sistematis, yang pelaksanaannya sangat tergantung dari komitmen si atlet terhadap program tersebut.
Pengaruh faktor psikologis pada atlet akan terlihat dengan jelas pada saat atlet tersebut bertanding. Berikut ini akan diuraikan beberapa masalah psikologis yang paling sering timbul di kalangan olahraga, khususnya dalam kaitannya dengan pertandingan dan masa latihan.
1. Berpikir Positif
Berpikir positif dimaksudkan sebagai cara berpikir yang mengarahkan sesuatu ke arah positif, melihat segi baiknya. Hal ini perlu dibiasakan bukan saja oleh atlet, tetapi terlebih-lebih bagi pelatih yang melatihnya. Dengan membiasakan diri berpikir positif, maka akan berpengaruh sangat baik untuk menumbuhkan rasa percaya diri, meningkatkan motivasi, dan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Berpikir positif merupakan modal utama untuk dapat memiliki ketrampilan psikologis atau mental yang tangguh.
2. Penetapan Sasaran
Penetapan sasaran (goal setting) merupakan dasar dan latihan mental. Pelatih perlu membantu setiap atletnya untuk menetapkan sasaran, baik sasaran dalam latihan maupun dalam pertandingan. Sasaran tersebut mulai dan sasaran jangka panjang, menengah, sampai sasaran jangka pendek yang lebih spesifik.
3. Motivasi
Motivasi dapat dilihat sebagai suatu proses dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu sebagai usaha dalam mencapai tujuan tertentu.
4. Emosi
Faktor emosi dalam diri atlet menyangkut sikap dan perasaan atlet secara pribadi terhadap diri sendiri, pelatih maupun hal-hal lain di sekelilingnya. Bentuk-bentuk emosi dikenal sebagai perasaan seperti senang, sedih, marah, cemas, takut, dan sebagainya.
5. Kecemasan dan Ketegangan
Kecemasan biasanya berhubungan dengan perasaan takut akan kehilangan sesuatu, kegagalan, rasa salah, takut mengecewakan orang lain, dan perasaan tidak enak lainnya.
6. Kepercayaan Diri
Dalam olahraga, kepercayaan diri sudah pasti menjadi salah satu faktor penentu suksesnya seorang atlet. Masalah kurang atau hilangnya rasa percaya diri terhadap kemampuan diri sendiri akan mengakibatkan atlet tampil di bawah kemampuannya.
7. Komunikasi
Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi dua arah, khususnya antara atlet dengan pelatih. Masalah yang sering timbul dalam hal kurang terjalinnya komunikasi yang baik antara pelatih dengan atletnya adalah timbulnya salah pengertian yang menyebabkan atlet merasa diperlakukan tidak adil, sehingga tidak mau bersikap terbuka terhadap pelatih.
8. Konsentrasi
Konsentrasi merupakan suatu keadaan di mana kesadaran seseorang tertuju kepada suatu obyek tententu dalam waktu tertentu. Makin baik konsentrasi seseorang, maka makin lama ia dapat melakukan konsentrasi. Dalam olahraga, konsentrasi sangat penting peranannya. Dengan berkurangnya atau terganggunya konsentrasi atlet pada saat latihan, apalagi pertandingan, maka akan timbul berbagai masalah.
9. Evaluasi Diri
Evaluasi diri dimaksudkan sebagai usaha atlet untuk mengenali keadaan yang terjadi pada dirinya sendiri. Hal ini perlu dilakukan agar atlet dapat mengetahui kelemahan dan kelebihan dirinya pada saat yang lalu maupun saat ini. Dengan bekal pengetahuan akan keadaan dirinya ini maka pemain dapat memasang target latihan maupun target pertandingan dan cara mengukurnya.
Sikap dan tingkah laku individu dalam ikatan kelompok dapat berbeda apabila dibandingkan dengan sikap dan tingkah laku nya dalam kedudukan sebagai individu. Dalam olahraga perenang-perenang yang bertanding sebagai anggota regu estafet tidak jarang mencatat waktu lebih baik dari rekornya sendiri yang dicapai dalam nomor perorangan. Masalah seperti ini telah menarik perhatian para ahli psikologi olahraga, Khususnya yang mempunyai latar belakang keahlian dibidang psikologi social.
Leon Mann (1973) Melaporkan salah satu hasil studi laboraturium yang dilakukan French, pada tahun 1994 dengan menggunakan tim atletik Universitas Harvard sebagai subyek eksperimen. Dilaporkan dalam studi tersebut bahwa pada suatu kelompok -kelompok subyek mahasiswa berada dalam ruangan laboraturium; kemudian dengan tidak terduga terlihat asap mengepul melalui bawah pintu dan bersamaan dengan itu terdengar bunyi tanda bahaya kebakaran. Ternyata keluar dalam keadaan terkunci. Reaksi yang timbul menunjukkan bahwa para atlit dari Harvard yang sudah terlatih dan hidup dalam asrama lebih dari satu tahun dan sudah terorganisasi, ternyata tanpak lebih takut dan agak panik dibandingkan kelompok mahasiswa yang tidak terorganisasi dan belum pernah ketemu sebelumnya. Namun kelompok atlet yang sudah terorganisasi tersebut menunjukkan reaksi dengan lebih terpadu dan lebih cepat serta terencana dalam tindakannya, dari pada kelompok mahasiswa yang tidak terorganisasi.
Studi laboraturium French tersebut menunjukkan sikap-sikap dan tingkah laku individu dalam ikatan kelompok dalam menghadapi situasi penuh ketegangan memiliki ciri-ciri tertentu, dan kelompok yang sudah terorganisasi menunjukkan beberapa kelebihan. Mengapa kelompok atlet yang sudah terorganisasi justru tanpak lebih takut dan agak panic dibandingkan kelompok yang tidak terorganisasi?; Kiranya kasus-kasus semacam ini baik sekali untuk dijadikan bahan diskusi para pelatih dan peminat psikologi olahraga.
Suatu studi Eksperimental lain juga pernah diselenggarakan oleh Muzafer Sherif untuk meneliti sikap dan tingkah laku individu dalam ikatan kelompok. Sherif (1951), melaporkan bahwa studi tersebut menggunakan subyek eksperimental para remaja dari berbagai kota di Amerika, dan diselenggarakan dalam suatu perkemahan. Para remaja dibentuk dalam regu-regu, kemudian diberi perlakuan dengan mengadakan perlombaan-perlombaan, pertandingan dan persaingan keras untuk saling mengalahkan dan diberi hadiah-hadiah yang menarik bagi remaja. Hasil studi menunjukkan bahwa usaha untuk memenangkan pertandingan dan mendapat hadiah untuk kepentingan dan kebanggaan regu, telah merubah sikap para remaja sehingga akhirnya terjadi pertentangan (hampir berkelahi) karena perbedaan kepentingan regu.
Problema-problema psikologis individu dalam ikatan kelompok perlu diperhatikan, khususnya dalam kaitannya dengan upaya pembinaan tim.
A. Ringelmann Effect
Silva III dan Weinberg (1984) mengemukakan hasil penelitian psikolog Jerman yang terkenal yaitu Ringelmann, yang kemudian diteliti kembali oleh Ingham dkk, Dalam studinya Ringelmann meneliti kemampuan menarik tambang individu-individu dalam kelompok. Kelompok yang terdiri dari 8 orang ternyata tidak menunjukkan kemampuan menarik 8 kali kemampuan individu, tetapi hanya 4 kali kemampuan individu. Lebih terinci lagi kelompok yang terdiri dari 2 orang kemampuannya 93% rata-rata kemampuan individu, kelompok yang terdiri dari 3 orang kemampuannya 85% rata-rata kemampuan individu, Kelompok 8 orang 49% rata-rata kemampuan individu.
Ingham,dkk meneliti kembali sampai dua kali hasil penelitian Ringelmann tersebut. Eksperimen ke : I Ingham dkk menunjukkan : kelompok 2 orang 91% penampilan rata-rata individu, kelompok 3 orang 82% kemampuan rata-rata, kelompok 6 orang menunjukkan 78% kemampuan rata-rata individu. Atas hasil penelitian Ringelmann tersebut Steiner mengajukan pandangan bahwa penurunan penampilan kelompok disebabkan karena hilangnya koordinasi. Kemudian Ingham mengadakan eksperimen ke:II, dengan menempatkan individu diruang tertutup (gelap) dan diberi tahu bahwa mereka melakukan tugas kelompok yang terdiri dari satu sampai enam orang. Hasilnya menunjukkan untuk kelompok tiga orang penampilannya 85% dari kemampuan rata-rata individu.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Ringelmann tersebut terbukti bahwa terjadi penurunan penampilan rata-rata individu apabila terjadi peningkatan jumlah anggota kelompok, dan ini dikenal sebagai “Ringelmann Effect”. Menurut Latane, dkk gejala tersebut terjadi karena hilangnya motivasi dan berbaurnya rasa tanggungjawab.
“Ringelmann Effect” atau dampak Ringelmann kiranya tidak terjadi pada semua bentuk kelompok dalam olahraga, karena interaksi dalam kelompok-kelompok olahraga atau tim olahraga tidak sama, Tim panahan tidaklah sama proses interaksinya yang terjadi dalam tim sepak bola, basket, dsbnya.
Penampilan dan prestasi atlet berkaitan dengan motivasi atlet, khususnya motivasi untuk berprestasi dan motivasi berafiliasi atau motivasi ketergabungan anggota dalam ikatan tim. Pada permainan ganda bulutangkis, dapat saja terjadi pemain A kalah Lawan X pada permainan tunggal, pemain B kalah lawan Y pada permainan tunggal, tetapi pasangan AB dapat menang lawan pasangan XY pada permainan ganda. Disamping segi-segi keterampilan teknis, aspek psikologis seperti rasa tanggungjawab dan kerjasama juga ikut menentukan ; ini tidak akan terlepas dari interaksi yang terjadi antara pemain yang berpasangan tersebut, Interaksi interpersonal akan sangat besar pengaruhnya terhadap penampilan dan prestasi pemain ganda dalam bulutangkis, misalnya saling pengertian , tidak saling menyalahkan, tidak ingin menguasai dan menonjolkan diri dan sebagainya. Dampak Ringelmann jelas tidak berlaku dalam hal ini.
Dalam ikatan kelompok atau tim tidak harus individu kehilangan atau menurun motivasinya untuk berprestasi, atau melemah rasa tanggungjawabnya. Peningkatan atau merosotnya prestasi atlet dalam ikatan tim dipengaruhi oleh banyak factor, yang dapat dikelompokkan dalam factor-faktor internal yang datang dari dalam diri subyek, dan faktor-faktor eksternal yang timbul dalam proses interaksi atlet dengan orang lain dan sekitarnya. Termasuk faktor internal misalnya “competitive trait anxiety”(CTA) atau rasa cemas menghadapi pertandingan, pada atlet yang memiliki CTA tinggi berarti mudah cemas menghadapi pertandingan, ketergabungannya dalam ikatan tim akan dapat mengurangi rasa cemas, sehingga ia akan dapat bermain dengan lebih baik dalam ikatan tim daripada kalau bermain bukan dalam ikatan tim. Hal ini juga erat hubungannya dengan situasi interaksi dalam tim tersebut, misalnya apabila atlet tersebut dituntut untuk berprestasi yang dirasakan melebihi dari kemampuannya , sudah barang tentu akan timbul pula hambatan untuk dapat berprestasi dengan baik. Faktor eksternal yang berupa tuntutan dari anggota tim atau dari masyarakat, juga akan memberi dampak psikologis tertentu pada atlet, dalam hal ini reaksi atlet tidak selalu sama, dan sangat ditentukan oleh kepribadian atlet yang bersangkutan.
Dari uraian dan beberapa contoh diatas jelaslah bahwa dampak Ringelmann effect sebagaimana digambarkan dalam hasil penelitian Ringelmann dan Ingham, tidak selalu relevan untuk selalu menganalisis gejala merosotnya prestasi kelompok atau tim dalam olahraga. Tugas-tugas dan tantangan yang dihadapai suatu tim kemungkinan dihadapi anggota-anggota tim dengan dengan menurunnya rasa tanggungjawab, kurang gairah karena kemampuan individual kurang menonjol, menimbulkan kecemasan karena rasa takut akan kalah dan sebagainya. Tetapi sebaliknya dapat juga menimbulkan rasa kebersamaan untuk membela nama baik tim, lebih meningkatkan motivasi untuk berprestasi karena tiap-tiap anggota tim tidak ingin menjadi penyebab kurang berhasilnya penampilan tim.
B. Motif Berprestasi Dalam Ikatan Tim
Tanpa memiliki motif berprestasi yang kuat dari anggota-anggotanya, maka suatu tim tidak mungkin mencapai prestasi yang setinggi-tingginya. Motif berprestasi adalah motif atau dorongan untuk berpacu dengan keunggulan, baik keunggulan diri sendiri maupun keunggulan orang lain, oleh karena itu dengan memiliki motif berprestasi yang kuat seseorang atlet akan selalu berusaha lebih baik daripada apa yang pernah dicapainya sendiri, dan juga selalu berusaha untuk berpacu dengan prestasi orang lain.
Bryant J. Cratty (1973) mengemukakan hasil penelitian Klein dan Christensen yang telah membuktikan bahwa diantara 19 tim bola basket, ternyata 16 tim yang menunjukkan motif berprestasi anggota-anggota berbeda-beda, ada yang kuat dan ada yang kurang kuat justru penampilannya sangat baik, sedangkan 3 tim yang menunjukkan motif berprestasi anggota-anggotanya sama dapat memperlihatkan penampilan yang tinggi tetapi tidak dapat dikategorikan sangat baik. Kenyataan tersebut dapat diinterprestasikan bahwa adanya perbedaan motif berprestasi mengakibatkan anggota yang memiliki motif berprestasi rendah atau kurang terpacu untuk lebih meningkatkan motivasinya, sehingga secara keseluruhan tim tersebut dapat lebih meningkatkan penampilannya.
Hasil penelitian Klein dan Christensen yang lain menunjukkan bahwa dalam satu tim dimana sebagian besar anggota-anggotanya memiliki motif berprestasi yang kuat atau tinggi, ternyata tim tersebut lebih sering mengalai konflik-konflik antara anggota timnya (intergroup conflicts). Konflik terjadi karena antara anggota terjadi persaingan yang tidak terarah, atau persaingan yang tidak sehat, dimana masing-masing anggota tim lebih mementingkan kepentingan diri sendiri daripada kepentingan timnya.
Hasil penelitian Klein dan Christensen tentang terjadinya konflik dalam tim karena anggota-anggotanya memiliki motif berprestasi tinggi, tidak harus dan tidak perlu terjadi. Situasi tim secara keseluruhan, yaitu situasi hubungan sebagai hasil intraksi interpersonal antara anggota kelompok dan anggota kelompok dengan para pembinannya akan besar pengaruhnya terhadap kemungkinan terjadinya konflik atau hubungan yang akrab dan penuh pengertian.
Konflik antara anggota kelompok dalam suatu tim juga dapat terjadi apabila tim tersebut mengalami frustasi, sehingga ketakutan akan gagal juga terjadi pada diri tiap-tiap individu anggota tim tersebut,; gejala frustasi yang menghinggapi individu dapat menyebabkan timbulnya sikap-sikap agresif, sehingga mudah pula menimbulkan konflik-konflik antara anggota tim tersebut.
Suatu penelitian yang dilakukan (Sudibyo, 1962) membuktikan bahwa timbulnya sentiment inggroup atau jiwa beregu yang kuat dalam suasana kompetitif tidak perlu menimbulkan sikap negative terhadap outgroup atau tregu lain. Penelitian yang menggunakan subyek eksperimen para remaja di Yogyakarta tersebut, sekaligus juga membuktikan bahwa pelatih dan Pembina mempunyai peranan yang besar terhadap penanaman sikap-sikap yang positif konstruktif pada para anggotanya.
C. Pembinaan Tim
Pembinaan tim pada akhirnya bertujuan untuk mencapai puncak penampilan dan prestasi yang setinggi-tingginya, dengan tetap menghindari kemungkinan-kemungkinan terjadinya dampak-dampak yang bersifat negatif, baik yang terjadi dalam ikatan tim maupun terhadap lain tim.
Upaya pembinaan tim diawali dengan menumbuhkan rasa kesatuan sebagi anggota tim sehingga terbentuk “team cohesion” sebaik-baiknya. Menurut Tutko dan Richards (1971) dalam hubungan ini perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Saling menghormati, baik antara pemain maupun antara pemain dengan pelatihnya.
2. Menciptakan komunikasi yang efektif; setiap anggota tim harus menunjukkan kesediaan berkomunikasi dengan penuh pengertian antara satu dengan yang lainnya.
3. Perasaan menjadi anggota yang penting; sebagai anggota tim perasaannya harus diperhatikan, mendapat pengakuan atas pengorbanan yang diberikan, dan dibantu anggota lain serta pelatihnya.
4. Tujuan bersama; harus ada keyakinan, kesediaan menerima suatu tujuan untuk dicapai bersama.
5. Perlakuan yang adil; setiap pemain merasa membutuhkan perlakuan yang sama dan mendapat kesempatan untuk mengembangkan bakat secara maksimal.
Hasil utama dari suatu team work yang baik adalah terciptanya kerjasama antara anggota tim yang sebaik-baiknya, suasana kekeluargaan dan hubungan yang erat antara anggota, dan setiap anggota tim meletakkan kebahagiaan tim diatas kepentingan sendiri.
Richard H. Cox (1985) mengemukakan hasil penelitian Martens dan Peterson Mengenai hubungan antara rasa kesatuan sebagai anggota tim atau “team cohension”, sukses dalam penampilan dan kepuasan. Hasil penelitian Martens dan Peterson terhadap tim bola basket tahun 1971 menunjukkan ada korelasi positif antara “team cohersion” dan kepuasan anggota. Lebih lanjut diajukan model pemikiran hipotetik yang menggambarkan bahwa team cohersion dapat mendorong sukses dalam penampilan, dan sukses dalam penampilan akan menimbulkan kepuasan, lebih lanjut kepuasan akan lebih memperkuat “team cohersion”.
Pada tahun 1982 Williams dan Hacker meneliti pemain-pemain hoki putri, dan berkesimpulan bahwa sukses dalam penampilan dan ”team cohersion” akan mendorong timbulnya kepuasan yang lebih besar, tetapi kepuasan tidak akan mendorong apapun.
Menurut Abraham H.Maslow (1970) terpenuhinya kebutuhan yang satu akan menimbulkan kebutuhan yang lain. Sesuai pendapat Maslow tersebut maka kepuasan yang timbul karena penampilan yang sukses, akan dapat berlanjut juga dengan timbulnya kebutuhan atau dorongan untuk tampil lebih sukses. Dalam olahraga pemain yang mendapat kepuasan kerena menang dalam pertandingan dapat termotifasi untuk memenangkan pertandingan berikutnya.
Perkembangan suatu tim akan ditentukan atau dipengaruhi individu-individu yang dominan dalam tim tersebut, oleh karena itu peranan pelatih sangat penting untuk lebih mengarahkannya. Tutko dan Richards (1971) menekankan arti pentingnya pembentukan citra atau “Image building”, karena seseorang akan bereaksi atas dasar pandangannya tentang diri sendiri dan orang lain. Sebagai anggota tim mereka cendrung bertindak sesuai keyakinan mereka tentang diri mereka; misalnya kurang percaya diri, sikap-sikap agresif, dsb. Merupakan reaksi yang didasarkan atas perasaan mereka tentang diri mereka sendiri.
Tutko dan Richards (1971) juga menekankan arti pentingnya menciptakan citra yang posistif atau “positif Image” tentang timnya, dan menghindarkan citra negative atau “image Negative” yang hanya akan merugikan perkembangan sikap anggota tim tersebut.
Mengenai pembentukan citra positif suatu tim dapat dilakukan dengan mengembangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Menggambarkan tim tersebut sebagai tim pemenang lebih menguntungkan daripada menggambarkan sebagai tim yang sering mengalami kekalahan.
2. Citra positif sebagian besar berkembang dalam suatu tim dengan disiplin yang baik, sedangkan citra negative biasanya terdapat dalam tim yang kurang disiplin.
3. Ketegasan seorang pelatih; nilai-nilai ethic seorang pelatih adalah sangat penting. Untuk menciptakan citra posistif seorang pelatih harus bertindak tegas terhadap pelanggaran peraturan yang disepakati bersama.
4. Sub-kultur dalam tim; setiap tim memiliki budayanya sendiri dan mereka yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan budaya kelompok/ tim akan terasing atau diminta meninggalkan tim.
Rasa keterikatan sebagai anggota tim merupakan hal sangat penting dalam pembinaan tim, oleh karena itu banyak dibicarakan oleh para ahli psikologi olahraga. Dalam rangka mengembangkan rasa kesatuan dalam ikatan tim. Richars H.Cox (1985) juga mengajukan beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Dengan penuh tanggungjawab setiap pemain memahami/mengenal tugas dan tanggunjawab pemain lain.
2. Pelatih lebih mengenal kehidupan pribadi pemain dalam tim.
3. Mengembangkan rasa bangga dalam menyelesaikan tugas-tugas untuk kepentingan tim.
4. Mengembangkan rasa “memiliki” setiap pemain merasa tim dimana ia tergabung sebagai timnya.
5. Menentukan bersama tujuan yang akan dicapai dan menumbuhkan rasa bangga untuk dapat mencapainya.
6. Setiap pemain mempelajari perannya dan yakin bahwa perannya tersebut penting.
7. Jangan menuntut atau mengharap ketenangan kelompok secara mutlak, tanpa adanya gesekan antara pemain akan berkurang pula minat untuk mencapai tujuan kelompok.
8. Apabila ada tanda-tanda kelompok kecil menunjukkan oposisi terhadap pencapaian tujuan tim, maka keberadaan kelompok kecil tersebut harus dihindarkan.
9. Dengan metode dril (team drill) dikembangkan kerjasama antara anggota tim.
10. Memberikan gambaran tentang kesuksesan tim, meskipun tim tersebut sedang mengalami kekalahan. Ini penting untuk menimbulkan kesatuan dan kepuasan bahwa permainan anggota tim juga ada yang baik.
Berbagai cara untuk menopang terbentuknya rasa kesatuan tim dapat dilakukan antara lain dengan membuat slogan, tanda-tanda (emblem) , uniform yang disepakati bersama, dsb.
Dari segi kepelatihan, berbagai cara dapat dilakukan namun yang penting setiap pelatih harus menyadari sepenuhnya tujuan atau sasaran yang ingin dicapai., yaitu meningkatkan rasa tanggungjawab, rasa memiliki dan rasa ketergabungan sebagai anggota tim, disiplin, kepercayaan pada diri sendiri, kesediaan berkorban untuk kepentingan tim, kebanggaan sebagai anggota tim, motivasi untuk mencapai prestasi tim setinggi-tingginya, dsb.
Persiapan Pertandingan Setelah atlet dilatih baik fisik, teknik, strategi, maupun mentalnya dengan program latihan yang tepat, maka untuk menguji hasil latihannya adalah dengan terjun ke dalam pertandingan. Tentunya diharapkan bahwa setiap pemain akan dapat menampilkan seluruh kemampuannya yang didapat dan latihan. Namun acap kali pemain tampil di bawah form, artinya ia tidak dapat menampilkan seluruh kemampuan yang dimilikinya pada saat pertandingan.
Untuk mengatasi hal seperti di atas, perlu diciptakan situasi yang mendukung yang tercapainya prestasi optimal dan dilakukan perwapan mental untuk menghadapi suatu pertandingan agar si atlet dapat menampilkan seluruh kemampuannya, sehingga tercapailah prestasi puncak.
Ada empat tahap penting dalam persiapan menuju pertandingan, yaitu
(1). Sebelum hari pertandingan
(2). Pada hari pertandingan
(3). Saat pertandingan
(4). Setelah hari pertandingan.
Berikut uraiannya dalam contoh persiapan pertandingan bulutangkis:
1. Sebelum Hari Pertandingan
a. Kumpulkan data mengenai kekuatan dan kelemahan lawan. Jika memungkinkan putarlah rekaman pertandingannya. Kemudian susunlah strategi untuk menghadapinya. Untuk pemain ganda, diskusikan strategi tersebut dengan pasangannya.
b. Pantau kemajuan atlet, baik fisik maupun mentalnya dengan memperhatikan
bagaimana tingkat konsentrasinya, bagaimana irama, timing, power, dan kelancaran menjalankan ketrampilannya serta sikapnya terhadap latihan secara umum.
c. Pantau tingkat kecemasan atlet dengan melihat ekspresi wajahnya apakah cerah
atau murung: apakah sinar matanya letih atau segar dan awas. Juga perhatikan suasana hatinya, bagaimana kualitas tidur dan makannya, apakah ia mengalami faktor-faktor psikosomatis seperti sakit perut, nyeri otot, sesak nafas, demam, batuk, keringat dingin, dan sebagainya.
d. Pada saat tidak latihan, pastikan bahwa atlet tidak “hidup dan berpikir” mengenai
pertandingannya 24 jam sehan. Berikan aktivitas yang menyenangkan bagi dirinya yang dapat memberikan suasana gembira, sehingga ia bisa mengalihkan pikirannya sejenak dari pertandingan.
e. Satu hari menjelang pertandingan, biasanya cukup latihan ringan saja dan tidak
perlu berada di lapangan terlalu lama. Pada malam hari sebelum bertanding, tidurlah pada saat yang tepat, tidak perlu tidur terlalu cepat. Sebelum tidur, lakukan latihan relaksasi dan visualisasi. Jika pertandingan besok dilakukan pagi atau siang hari, siapkan alat-alat perperlengkapan pertandingan, termasuk baju ganti dan perlengkapan cadangan malam ini juga agar esok tidak terburu-buru. Pastikan semua dalam keadaan baik.
2. Pada Hari Pertandingan
a. Bangun tidur pada saat yang tepat, malamnya harus tidur cukup dan tidak berlebihan. Kemudian lakukan aktivitas rutin kebiasaan sehari-hari, seperti sembahyang, berdoa, stretching, sarapan (perhatikan kapan harus makan dan apa yang harus dimakan), latihan relaksasi dan visualisasi, memeriksa kembali perlengkapan pertandingan termasuk cadangannya. Mulailah hari ini dengan gembira, optimis, dan berpikir positif.
b. Berangkatlah ke tempat pertandingan pada saat yang tepat. Perhitungkan jarak ke tempat pertandingan, bagaimana mencapainya, kemacetannya dan sebagainya. Tidak perlu berangkat terlalu cepat, namun jangan sampai terlambat, sehingga tidak ada waktu untuk istirahat, penyesuaian dan pemanasan.
c. Di tempat pertandingan pelatih perlu mengenali atlet mana yang berada didekat teman-temannya dan mana yang lebih suka menyendiri. Pastikan di lapangan mana atlet yang akan bertanding, jangan lupa melapor panitia. Untuk pertandingan pertama, pastikan atlet sudah hapal dimana letak ruang ganti, WC, ruang kesehatan, tes doping, tempat ganti senar, dan sebagainya.
d. Sambil melakukan pemanasan, atlet hendaknya meningkatkan level `semangat’ dlan tetap berpikir positif. Pelatih dapat mengingatkan strategi yang akan diterapkan secara sekilas. Lakukan stroke dengan penuh konsentrasi yang kemudian dapat dilanjutkan dengan’visualisasi clan relaksasi.
3. Saat Bertanding
Saat bertanding tiba, bukan waktunya lagi untuk memikirkan teknik memukul atau bagaimana harus melangkah. Itu semua sudah dilatih dalam latihan dan sudah dihayati dalam visualisasi. Sekarang saatnya tinggal mengulang-ulang kejadian yang sudah divisualisasikan dan melakukannya sesuai dengan situasi saat ini. Sekarang adalah saatnya melakukan konsentrasi penuh hanya pada bola dan jalannya pertandingan. Anjurkan atlet untuk:
a. Memantau clan menyesuaikan tingkat kecemasan, lakukan relaksasi.
b. Pusatkan perhatian semata-mata hanya terhadap permainan yang sedang dijalani.
Kesalahan yang baru atau pernah terjadi, clan yang mungkin terjadi jangan
dihiraukan.
c. Berpikir positif dan optimis, jangan biarkan pikiran-pikiran negatif.
d. Jangan terlalu banyak menganalisa.
e. Bermainlah dengan irama sendiri, jangan terbawa irama lawan.
f. Menjalankan strategi yang telah disiapkan. Jangan diubah jika strategi itu berjalan.
Lakukan evaluasi singkat, jika strategi tidak jalan, lakukan penyesuaian dengan
alternatif strategi yang sudah dipersiapkan.
g.hindari hal-hal negatif seperti, menyalahkan diri sendiri secara berlebihan,
berbicara terhadap diri sendiri berlebihan, berpikir negatif, meragukan
kemampuan clan menyerah sebelum pertandingan selesai.
h. Jika bermain bagus, jangan bertanya mengapa clan mengganti apapun; biarkan
berjalan demikian. Jangan mengendor jika sedang leading (memimpin
pertandingan), clan tidak perlu kasihan jika lawan mendapat angka nol.
4. Setelah Hari Pertandingan
a. Mintalah atlet mencatat hal-hal posisitf maupun negatif yang dirasa berpengaruh terhadap penampilannya dalam pertandingan tadi. Bukan hanya yang bersifat teknik, taktik, clan strategi, tetapi juga yang bersifat mental, bahkan hal-hal kecil lainnya. Catat hasil tersebut dalam buku evaluasi si atlet.
b. Evaluasi penampilan dalam pertandingan tadi. Apakah mencapai sasaran?
c. Putuskan apakah perlu diadakan penyesuaian terhadap program latihan.
d. Pusatkan perhatian terhadap aspek-aspek positif dari penampilan dalam pertandingan
D.Pelatih Sebagai Pembina Mental Atlit
Pelatih dalam olahraga dapat mempunyai fungsi sebagai pembuat atau pelaksana program latihan, sebagai motivator, konselor, evaluator dan yang bertanggung jawab terhadap segala hal yang berhubungan dengan kepelatihan tersebut. Sebagai manusia biasa, pelatih sama halnya dengan atlet, mempunyai kepribadian yang unik yang berbeda antara satu dengan lainnya. Setiap pelatih memiliki kelebihan dan kekurangan, karena itu tidak ada pelatih yang murni ideal atau sempura.
Dalam mengisi peran sebagai pelatih, seseorang harus melibatkan diri secara total dengan atlet asuhannya. Artinya, seorang pelatih bukan hanya melulu mengurusi masalah atau hal-hal yang berhubungan dengan olahraganya saja, tetapi pelatih juga harus dapat berperan sebagai teman, guru. orangtua, konselor, bahkan psikolog bagi atlet asuhannya.
Dengan demikian dapat diharapkan bahwa atlet sebagai seorang yang ingin mengembangkan prestasi, akan mempunyai kepercayaan penuh terhadap pelatihnya.
Keterlibatan yang mendalam antara pelatih dengan atlet asuhannya harus dilandasi oleh adanya empati dan pelatih terhadap atletnya tersebut.Empati ini merupakan kemampuan pelatih untuk dapat menghayati perasaan atau keadaan atletnya, yang berarti pelatih dapat mengerti atletnya secara total tanpa ia sendiri kehilangan identitas pnbadinya.
Untuk mengerti keadaan atlet dapat diperoleh dengan mengetahui atau mengenal hal-hal penting yang ada pada atlet yang bersangkutan. Pengetahuan sekadarnya saia tidak cukup bagi pelatih untuk mengetahui keadaan psikologi atletnya. Dasar dan sikap mau memahami keadaan psikologi atletnya adalah pengertian pelatih bahwa setiap orang memiliki sifat-sifat khusus yang memerlukan penanganan khusus pula dalam hubungan dengan pengembangan potensinya.
Kepribadian seorang pelatih dapat pula membentuk kepribadian atlet yang menjadi asuhannya. Hal terpenting yang harus ditanamkan pelatih kepada atletnya adalah bahwa atlet percaya pada pelatih bahwa apa yang diprogramkan dan dilakukan oleh pelatih adalah untuk kebaikan dan kemajuan si atlet itu sendiri. Untuk bisa mendapatkan kepercayaan tersebut dari atlet, pelatih tidak cukup hanya memintanya, tetapi harus membuktikannya melalui ucapan, perbuatan, dan ketulusan hati. Sekali atlet mempercayai pelatih maka seberat apapun program yang dibuat pelatih akan dijalankan oleh si atlet dengan sungguh-sungguh.
E. Penelitian Sosiometri
Penelitian sosiometri yang mula-mula dikembangkan oleh J.L. Moreno (1951) ternyata merupakan sumbangan yang cukup berharga dalam penelitian psikologi social dan psikologi kelompok. Dengan penelitian sosiometri dapat ditunjukkan adanya formal group atau kemungkinan adanya sub kelompok dalam suatu kelompok atau tim. Hal ini dimungkinkan karena dengan penelitian sosiometri digambarkan adanya hubungan antara anggota kelompok.
Menurut Moreno (1951) sosiometri berkembang kerah tiga pola riset, yaitu :
1. “diagnostic sociometry”, dikembangkan oleh Lundberg dan Bogardus, dimaksudkan untuk membuat diagnose mengenai saling hubungan yang terjadi dalam kelompok.
2. “dynamic sociometri” diselidiki secara mendalam oleh Moreno dan Jennings, dimaksudkan untuk menyelidiki dinamika atau perubahan-perubahan yang terjadi dalam hubungan dan struktur kelompok.
3. “Mathematical”, dikembangkan oleh Lazarsfeld dan Stewart, terutama dimaksudkan untuk meneliti kekuatan-kekuatan (forces) yang berkembang dalam suatu kelompok.
Setiap individu berhubungan dengan individu lain tentu akan timbul kesan tertentu, rasa senang,benci, saling menyukai,dsb. Seorang pelatih perlu sekali mengetahui hubungan social yang terjadi antara anggota-anggotanya untuk mengetahui lebih mendalam hal-hal sebagai berikut :
a. Apakah hubungan social antara anggota cukup akrab, homogeny dan harmonis.
b. Apakah ada gejala ketidakserasian atau perpecahan diantara anggotanya, yaitu gejala disharmonis atau bahkan menjurus kearah disorganisasi social.
c. Siapa diantara angota yang merupakan tokoh kuncih dari kelompoknya.
Dengan mengetahui hubungan sosial yang terjadi dalam kelompok yang dibina, seorang pelatih dapat lebih meningkatkan saling hubungan lebih positif, mengatasi kemungkinan terjadinya perpecahan atau hubungan yang disharmonis yang dapat merugikan perkembangan kelompok atau tim yang dibina. Dengan mengetahui hubungan-hubungan social yang terjadi dalam tim seorang pelatih dapat memberikan bimbingan yang lebih terarah dan tepat dalam menghadapi berbagai masalah antara lain dalam hubungan ini dapat memanfaatkan tokoh kunci yang ada dalam kelompok.
Hubungan sosial atau sosiogram dalam suatu kelompok dapat diketahui atas dasar penelitian sosiometri dengan terlebih dahulu mengadakan interviu, kuesioner, atau dengan observasi yang seksama dalam suatu kelompok.
Dalam rangka pembinaan tim maka metode sosiometri banyak sekali manfaatnya. Motivasi, Sikap, dan tingkah laku kelompok sebagian besar dipengaruhi oleh individu-individu yang dominan dalam kelompok; melalui penelitian sosiometri dapat diketahui adanya tokoh kunci yang biasanya memiliki kelebihan dan dominan dalam kelompok atau sub-kelompok dimana ia tergabung. Dan juga dapat mengetahui siapa diantara anggota tim yang kurang disenangi anggota lainnya, hal ini perlu mendapat perhatian agar anggota tersebut tidak terisolasi dari lingkungan kehidupan kelompok.
Dengan selalu memperhatikan tata hubungan social yang terjadi dalam tim, maka keharmonisan tidak dapat selalu dipelihara dan kemungkinan terjadinya hubungan yang kurang harmonis dapat segera ditanggulangi. Hal ini penting sekali dalam upaya membina tim karena kuat atau lemahnya tim tidak hanya tergantung pada kemampuan satu atau dua orang anggota saja, tetapi lebih ditentukan oleh kemampuan gabungan dari seluruh anggota tim.
Kuatnya rasa kesatuan tim atau “sentiment ingroup” akan besar sekali dampaknya pada motivasi dan sikap positif anggota untuk membela dan menjunjung tinggi timnya atau groupnya. Dengan kuatnya rasa kesatuan tim akan timbul rasa memiliki dan rasa tanggung jawab pada kelompok (belongingness and responsibility).

No comments:

Post a Comment