Pasang Iklan

ads ads ads ads ads ads

Wednesday, 17 August 2011

5 Fakta Mengagumkan Seputar Adzan

Adzan adalah media luar biasa untuk mengumandangkan tauhid terhadap yang Maha Kuasa dan risalah (kenabian) Nabi Muhammad saw. Adzan juga merupakan panggilan shalat kepada umat Islam, yang terus bergema di seluruh dunia lima kali setiap hari.

Betapa mengagumkan suara adzan itu, dan bagi umat Islam di seluruh dunia, adzan merupakan sebuah fakta yang telah mapan. Indonesia misalnya, sebagai sebuah negara terdiri dari ribuan pulau dan dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

1 . Kalimat Penyeru Yang Mengandung “Kekuatan Supranatural”
Ketika azan berkumandang, kaum yang bukan sekedar muslim, tetapi juga beriman, bergegas meninggalkan seluruh aktivitas duniawi dan bersegera menuju masjid untuk menunaikan salat berjamaah. Simpul-simpul kesadaran psiko-religius dalam otak mereka mendadak bergetar hebat, terhubung secara simultan, dan dengan totalitas kesadaran seorang hamba (abdi) mereka bersimpuh, luruh dalam kesyahduan ibadah shalat berjamaah.

2. Asal Mula Yang Menakjubkan:
Pada jaman dulu, Rasulullah Saw. kebingungan untuk menyampaikan saat waktu shalat tiba kepada seluruh umatnya. Maka dicarilah berbagai cara. Ada yang mengusulkan untuk mengibarkan bendera pas waktu shalat itu tiba, ada yang usul untuk menyalakan api di atas bukit, meniup terompet, dan bahkan membunyikan lonceng. Tetapi semuanya dianggap kurang pas dan kurang cocok.

Adalah Abdullah bin Zaid yang bermimpi bertemu dengan seseorang yang memberitahunya untuk mengumandangkan adzan dengan menyerukan lafaz-lafaz adzan yang sudah kita ketahui sekarang. Mimpi itu disampaikan Abdullah bin Zaid kepada Rasulullah Saw. Umar bin Khathab yang sedang berada di rumah mendengar suara itu. Ia langsung keluar sambil menarik jubahnya dan berkata: ”Demi Tuhan Yang mengutusmu dengan Hak, ya Rasulullah, aku benar-benar melihat seperti yang ia lihat (di dalam mimpi). Lalu Rasulullah bersabda: ”Segala puji bagimu.”

yang kemudian Rasulullah menyetujuinya untuk menggunakan lafaz-lafaz adzan itu untuk menyerukan panggilan shalat.

3. Adzan Senantiasa Ada Saat Peristiwa2 Penting:
Adzan Digunakan islam untuk memanggil Umat untuk Melaksanakan shalat. Selain itu adzan juga dikumandangkan disaat-saat Penting. Ketika lahirnya seorang Bayi, ketika Peristiwa besar. Peristiwa besar yang dimaksud adalah:

- Fathu Makah : Pembebasan Mekkah merupakan peristiwa yang terjadi pada tahun 630 tepatnya pada tanggal 10 Ramadan 8 H, dimana Muhammad beserta 10.000 pasukan bergerak dari Madinah menuju Mekkah, dan kemudian menguasai Mekkah secara keseluruhan, sekaligus menghancurkan berhala yang ditempatkan di dalam dan sekitar Ka’bah. Lalu Bilal Mengumandangkan Adzan Diatas Ka’bah.

- Perebutan kekuasaan Konstatinopel : Konstantinopel jatuh ke tangan pasukan Ottoman, mengakhiri Kekaisaran Romawi Timur. lalu beberapa perajurit ottoman masuk kedalam Ramapsan terbesar Mereka Sofia..lalu mengumandangkan adzan disana sebagai tanda kemenagan meraka.

4. Adzan Sudah Miliyaran kali Dikumandangkan:
Sejak pertama dikumandangkan sampai saat ini mungkin sudah sekitar 1500 tahunan lebih adzan dikumandangkan. Anggaplah setahun 356 hari . berarti 1500 tahun X 356 hari= 534000 dan kalikan kembali dengan jumlah umat islam yang terus bertambah tiap tahunnya. Kita anggap umat islam saat ini sekitar 2 miliyar orang dengan persentase 2 milyar umat dengan 2 juta muadzin saja. Hasilnya = 534.000 x 2.000.000 = 1.068.000.000.000 dikalikan 5 = 5.340.000.000.000

5. Adzan Ternyata Tidak Pernah Berhenti Berkumandang
Proses itu terus berlangsung dan bergerak ke arah barat kepulauan Indonesia. Perbedaan waktu antara timur dan barat pulau-pulau di Indonesia adalah satu jam. Oleh karena itu, satu jam setelah adzan selesai di Sulawesi, maka adzan segera bergema di Jakarta, disusul pula sumatra. Dan adzan belum berakhir di Indonesia, maka ia sudah dimulai di Malaysia. Burma adalah di baris berikutnya, dan dalam waktu beberapa jam dari Jakarta, maka adzan mencapai Dacca, ibukota Bangladesh. Dan begitu adzan berakhir di Bangladesh, maka ia ia telah dikumandangkan di barat India, dari Kalkuta ke Srinagar. Kemudian terus menuju Bombay dan seluruh kawasan India.

Srinagar dan Sialkot (sebuah kota di Pakistan utara) memiliki waktu adzan yang sama. Perbedaan waktu antara Sialkot, Kota, Karachi dan Gowadar (kota di Baluchistan, sebuah provinsi di Pakistan) adalah empat puluh menit, dan dalam waktu ini, (Dawn) adzan Fajar telah terdengar di Pakistan. Sebelum berakhir di sana, ia telah dimulai di Afghanistan dan Muscat. Perbedaan waktu antara Muscat dan Baghdad adalah satu jam. Adzan kembali terdengar selama satu jam di wilayah Hijaz al-Muqaddas (Makkah dan Madinah), Yaman, Uni Emirat Arab, Kuwait dan Irak.

Perbedaan waktu antara Bagdad dan Iskandariyah di Mesir adalah satu jam. Adzan terus bergema di Siria, Mesir, Somalia dan Sudan selama jam tersebut. Iskandariyah dan Istanbul terletak di bujur geografis yang sama. Perbedaan waktu antara timur dan barat Turki adalah satu setengah jam, dan pada saat ini seruan shalat dikumandangkan.

Iskandariyah dan Tripoli (ibukota Libya) terletak di lokasi waktu yang sama. Proses panggilan Adzan sehingga terus berlangsung melalui seluruh kawasan Afrika. Oleh karena itu, kumandang keesaan Allah dan kenabian Muhammad saw yang dimulai dari bagian timur pulau Indonesia itu tiba di pantai timur Samudera Atlantik setelah sembilan setengah jam.

Sebelum Adzan mencapai pantai Atlantik, kumandang adzan Zhuhur telah dimulai di kawasan timur Indonesia, dan sebelum mencapai Dacca, adzan Ashar telah dimulai. Dan begitu adzan mencapai Jakarta setelah kira-kira satu setengah jam kemudian, maka waktu Maghrib menyusul. Dan tidak lama setelah waktu Maghrib mencapai Sumatera, maka waktu adzan Isya telah dimulai di Sulawesi! Bila Muadzin di Indonesia mengumandangkan adzan Fajar, maka muadzin di Afrika mengumandangkan adzan untuk Isya
.


Tuesday, 16 August 2011

Keutamaan Puasa Ramadhan

Di antara dalil-dalil keutamaannya adalah:
1. Dari Abu Hurairah secara marfu’ dalam hadits Qudsi:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ, فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ. الصِّيَامُ جُنَّةٌ

“Semua amalan anak Adam adalah untuknya kecuali puasa, karena dia itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai.” (HR. Al-Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151)

2. Juga dari Abu Hurairah, Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka akan diampuni seluruh dosanya yang telah berlalu.” (HR. Al-Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 760)

3. Dari Abu Said Al-Khudri secara marfu’:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللهُ بِهَذاَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا

“Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah kecuali karenanya Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh 70 tahun perjalanan.” (HR. Al-Bukhari no. 2840 dan Muslim no. 1153)

4. Dari Abu Hurairah secara marfu’:
“Jika bulan ramadhan telah tiba, pintu-pintu langit -dalam sebagian riwayat: Pintu-pintu surgadan pintu-pintu jahannam ditutup dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Al-Bukhari no. 1899 dan Muslim no. 1079)

5. Masih dari Abu Hurairah secara marfu’:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسَةُ, وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ, وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ, مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ

“Shalat yang lima waktu, shalat jumat satu ke shalat jumat selanjutnya, dari satu ramadhan ke ramadhan berikutnya, semuanya adalah penghapus dosa-dosa yang ada di antara keduanya, jika dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim no.233)


Beberapa Hukum Seputar Puasa Ramadhan

Berikut beberapa hukum seputar puasa ramadhan secara ringkas:
a.    Tidak syah puasa wajib seperti puasa ramadhan atau qadha` ramadhan atau puasa nadzar kecuali jika dia meniatkannya sejak dari malam hari. Hanya saja niat itu tempatnya di hati sehingga tidak perlu melafazhkannya.
Dalil dari hal ini adalah hadits Hafshah dan Ibnu Umar radhiallahu anhuma:


مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ


“Barangsiapa yang tidak memalamkan niatnya sebelum terbitnya fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Daud no. 2454, At-Tirmizi no. 730, An-Nasai (4/196), dan Ibnu Majah no. 1700)
b.    Wanita haid dan nifas diharamkan berpuasa secara mutlak, akan tetapi dia wajib menggantinya jika puasa yang dia tinggalkan itu adalah puasa wajib.
Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiallahu anha dia berkata:


كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ


“Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.” (HR. Muslim no. 508)
Adapun wanita yang mengalami istihadhah, maka dia tetap wajib berpuasa. Hal itu karena istihadhah berbeda dengan haid dari sisi sifat dan hukum.

c.    Jika ada orang yang berniat puasa dalam keadaan junub dan dia tidak mandi junub kecuali setelah subuh, maka puasanya syah. Sebagaimana jika wanita haid suci sesaat sebelum subuh lalu dia berniat puasa dan dia mandi setelah masuknya subuh, maka dia syah berpuasa.
Dalilnya adalah ucapan Aisyah radhiallahu anha:


إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ فِي رَمَضَانَ ثُمَّ يَصُومُ


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendapati waktu Subuh dalam keadaan junud karena jima’, bukan karena mimpi di bulan Ramadhan, kemudian beliau tetapi berpuasa.” (HR. Al-Bukhari no. 1796 dan Muslim no. 1867)

d.    Lelaki dan wanita tua yang sudah berat untuk berpuasa, maka mereka tidak wajib untuk berpuasa, demikian halnya orang sakit yang penyakitnya tidak mempunyai kemungkinan untuk sembuh. Mereka boleh berbuka akan tetapi mereka wajib menggantinya dengan fidyah, yaitu memberi makan 1 orang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa.
Ini adalah pendapat sebagian ulama, dan mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala:


وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين


“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Ibnu Abbas radhiallahu anhu menafsirkan ayat di atas, “Ayat ini turun memberikan keringanan kepada lelaki dan wanita tua yang tidak kuat berpuasa, maka keduanya memberikan makan setiap hari kepada 1 orang miskin.”
Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu anhu bahwa beliau lemah untuk berpuasa setahun sebelum wafat, maka beliau berbuka dan memerintahkan keluarganya untuk memberi makan 1 orang miskin setiap hari.

e.    Adapun orang yang sakit, maka:
•    Jika sakitnya ringan atau masih ada kemungkinan sembuh, maka dia boleh berbuka tapi dia wajib menggantinya di hari yang lain. Allah Ta’ala berfirman:


ومن كان مريضا أو على سفر فعُدة من أيام اُخر


“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)
•    Jika sakitnya tidak ada kemungkinan sembuh maka dia sejak awal sudah wajib membayar fidyah, berdasarkan pendapat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma di atas.
•    Jika penyakitnya datang tiba-tiba dan berlanjut hingga dia meninggal maka tidak ada kewajiban apa-apa pada keluarganya, tidan fidyah dan tidak pula qadha.

f.    Disunnahkan bagi orang yang ingin berpuasa untuk makan sahur.
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:


تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً


“Bersahurlah kalian, karena didalam sahur ada barakah.” (HR. Al-Bukhari no. 1789 dan Muslim no. 1835)

g.    Disunnahkan untuk mengakhirkan makan sahur mendekati azan subuh.
Dari Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhuma dia berkata:


تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً


“Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian Beliau pergi untuk melakanakan shalat. Aku bertanya: “Berapa antara adzan (Shubuh) dan sahur?”. Dia menjawab: “Sebanyak ukuran bacaan lima puluh ayat.” (HR. Al-Bukhari no. 1787)

h.    Disunnahkan bersahur dengan memakan korma atau meminum air putih.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:


نِعْمَ سَحُورُ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ


“Sebaik-baik (makanan) sahur bagi seorang mukmin adalah kurma.” (HR. Abu Daud no. 1998)
Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ


“Makan sahur itu berkah, maka janganlah kalian tinggalkan meskipun salah seorang dari kalian hanya minum seteguk air, karena sesungguhnya Allah ‘azza wajalla dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur.” (HR. Ahmad no. 10664)

i.    Sebaliknya dengan berbuka puasa, maka dia dianjurkan untuk disegerakan setelah terbenamnya matahari.
Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ


“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Al-Bukhari no. 1821 dan Muslim no. 1838)

j.    Disunnahkan berbuka dengan memakan ruthob sebelum melaksanakan shalat maghrib, kalau tidak ada maka dengan korma, kalau tidak ada maka dengan meminum air.
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata:


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berbuka dengan beberapa ruthab (kurma yang belum masak) sebelum melakukan shalat, jika tidak dengan air maka dengan beberapa kurma, dan apabila tidak ada kurma maka beliau meneguk air beberapa kali.”(HR. Abu Daud no. 2009 dan At-Tirmizi no. 632)



Beberapa Hukum Shalat Tarawih


Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa menegakkan Ramadlan karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari no. 36 dan Muslim no. 1266)
Makna ‘iman dan mengharap pahala’ adalah membenarkan pahalanya dan menghendaki dengannya wajah Allah, serta berlepas dari riya` dan sum’ah.
Makna ‘diampuni dosa-dosanya yang telah lalu’ adalah semua dosa-dosa kecilnya akan ditutupi dan dia tidak akan disiksa karenanya.

Dari Aisyah radhiallahu anha isteri Nabi shallaallahu ‘alaihi wa sallam dia berkata:

كَانَ النَّاسُ يُصَلُّونَ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ بِاللَّيْلِ أَوْزَاعًا يَكُونُ مَعَ الرَّجُلِ شَيْءٌ مِنْ الْقُرْآنِ فَيَكُونُ مَعَهُ النَّفَرُ الْخَمْسَةُ أَوْ السِّتَّةُ أَوْ أَقَلُّ مِنْ ذَلِكَ أَوْ أَكْثَرُ فَيُصَلُّونَ بِصَلَاتِهِ قَالَتْ فَأَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ ذَلِكَ أَنْ أَنْصِبَ لَهُ حَصِيرًا عَلَى بَابِ حُجْرَتِي فَفَعَلْتُ فَخَرَجَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ أَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ قَالَتْ فَاجْتَمَعَ إِلَيْهِ مَنْ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلًا طَوِيلًا ثُمَّ انْصَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ وَتَرَكَ الْحَصِيرَ عَلَى حَالِهِ فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّاسُ تَحَدَّثُوا بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْ كَانَ مَعَهُ فِي الْمَسْجِدِ تِلْكَ اللَّيْلَةَ قَالَتْ وَأَمْسَى الْمَسْجِدُ رَاجًّا بِالنَّاسِ فَصَلَّى بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ ثُمَّ دَخَلَ بَيْتَهُ وَثَبَتَ النَّاسُ قَالَتْ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا شَأْنُ النَّاسِ يَا عَائِشَةُ قَالَتْ فَقُلْتُ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ سَمِعَ النَّاسُ بِصَلَاتِكَ الْبَارِحَةَ بِمَنْ كَانَ فِي الْمَسْجِدِ فَحَشَدُوا لِذَلِكَ لِتُصَلِّيَ بِهِمْ قَالَتْ فَقَالَ اطْوِ عَنَّا حَصِيرَكِ يَا عَائِشَةُ قَالَتْ فَفَعَلْتُ وَبَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ غَافِلٍ وَثَبَتَ النَّاسُ مَكَانَهُمْ حَتَّى خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الصُّبْحِ فَقَالَتْ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ أَمَا وَاللَّهِ مَا بِتُّ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ لَيْلَتِي هَذِهِ غَافِلًا وَمَا خَفِيَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّي تَخَوَّفْتُ أَنْ يُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَاكْلَفُوا مِنْ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا

“Pada malam bulan Ramadhan, orang berbondong-bondong shalat di masjidnya Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap ada orang yang hafal Al Qur’an diikuti oleh lima atau enam orang, atau kurang atau lebih dari itu, mereka melakukan shalat dengan mengikuti shalatnya orang yang hafal Al Qur’an.” Ia berkata; “Pada malam itu, Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku supaya meletakkan tikar untuknya di atas pintu kamarku, aku pun mengerjakannya. Setelah shalat isya’ yang terakhir, beliau keluar.” Ia berkata; “Orang-orang yang ada di masjid pun mengerumuni beliau, lalu Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam dengan panjang bersama mereka. Setelah itu, Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam beranjak masuk (rumah) dan meninggalkan tikarnya seperti semula. Tatkala di pagi hari, orang-orang membicarakan mengenai shalatnya Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang yang bersamanya di masjid pada malam itu.” Ia berkata; “Ketika di sore hari, masjid sudah didesak-desaki oleh orang dan Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat isya’ bersama mereka. Setelah itu, beliau masuk rumahnya sedangkan orang-orang masih tetap di masjid.” Ia berkata; Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan kepadaku; ‘Apa yang terjadi dengan orang-orang tersebut wahai Aisyah? ‘ ia berkata; saya menjawab; “Wahai Rasulullah! Orang-orang telah mendengar shalatmu tadi malam dengan beberapa orang di masjid. Merekapun berkumpul untuk hal itu supaya engkau shalat bersama mereka.” Ia berkata; “Beliau menuturkan; ‘Lipat tikar mu itu wahai Aisyah! ‘ Aku pun mengerjakannya. Rasulullah tetap bermalam di rumah dan bukan karena beliau lupa. Sementara orang-orang tetap berada di masjid hingga Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk melakukan shalat shubuh.” Ia berkata; beliau bersabda: “Wahai manusia, demi Allah, segala puji bagi Allah, pada malam ini aku sengaja lalaikan. Bukannya karena aku tidak tahu tempat kalian, tapi aku khawatir (shalat tersebut) akan diwajibkan kepada kalian. Maka lakukanlah amal perbuatan yang kalian mampu, karena Allah tidak akan pernah bosan hingga kalian bosan.” (HR. Ahmad no. 25103)

Beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari hadits di atas:
a.    Disyariatkannya shalat tarawih, dan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam mengerjakannya setelah shalat isya.
b.    Yang menjadikan Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak shalat berjamaah tarawih bersama sahabat sampai akhir bulan adalah karena beliau khawatir shalat tarawih akan diwajibkan kepada mereka sehingga akan memberatkan mereka.
Akan tetapi tatkala kekhawatiran ini sirna dengan wafatnya beliau, maka hukumnya kembali ke asal perbuatan beliau shallallahu alaihi wasallam, yaitu disyariatkan shalat tarawih berjamaah.
c.    Semangat para sahabat radhiallahu anhum dalam beribadah dan dalam mencontoh Nabi mereka shallallahu alaihi wasallam.
d.    Semangat beliau untuk memberikan kebaikan kepada umatnya dan sekaligus kasih sayang beliau kepada mereka sehingga beliau tidak ingin menyusahkan mereka. Allah Ta’ala berfirman:

لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رءوف رحيم

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah:128)

Disunnahkan shalat tarawih bersama imam sampai selesai shalat witir, karena telah shahih dalam hadits Abu Dzar radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

“Sesungguhnya siapa saja yang shalat (malam) bersama imam hingga selesai, maka akan dicatat baginya seperti bangun (untuk mengerjakan shalat malam) semalam suntuk.” (HR. Abu Daud no. 1167, At-Tirmizi no. 734, An-Nasai no. 1347, dan Ibnu Majah no. 1317 dengan sanad yang shahih)
Hadits ini berlaku umum untuk lelaki dan wanita, jika wanita ikut shalat tarawih di masjid. Hanya saja sudah dimaklumi bersama bahwa shalatnya wanita di rumahnya itu lebih utama karena hal itu lebih aman baginya dan lebih menjauhkannya dari fitnah. Dan kalau kita mengamati keadaan kaum muslimah yang keluar ke masjid untuk melaksanakan shalat tarawih maka sungguh menyuruh mereka shalat di rumah itu lebih mencegah terjadinya kemungkaran. Dari Aisyah radhiallahu anha isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dia berkata:

لَوْ أَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ الْمَسَاجِدَ كَمَا مُنِعَهُ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ

“Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat apa yang dilakukan oleh para wanita (sekarang), niscaya beliau akan melarang mereka untuk mendatangi masjid sebagaimana para wanita Bani Israil yang juga dilarang.” (Riwayat Malik dalam Al-Muwaththa` no. 418)
Yang dimaksud adalah para wanita di zaman ini keluar shalat dengan memakai perhiasan, wangi-wangian, pakaian yang indah, dan semacamnya.
Kalau demikian keadaan para wanita di zaman tabi’in yang merupakan salah satu zaman terbaik, maka tidak tahu lagi bagaimana sikap Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika melihat para wanita di zaman ini, zaman yang jauh dari ilmu dan penuh dengan kejelekan. Wallahul Musta’an.