Pasang Iklan

ads ads ads ads ads ads

Thursday, 2 September 2010

SEJARAH KABUPATEN WAJO

Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk kemajuannya di bidang pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi dan jaminan terhadap hak-hak raknyatnya. Adapun konsep pemerintahan adalah :
  1. Kerajaan
  2. Republik
  3. Federasi, yang belum ada duanya pada masa itu
Hal tersebut semuanya ditemukan dalam LONTARAK SUKKUNA WAJO. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa beberapa nama pada masa Kerajaan Wajo yang berjasa dalam mengantar Tana Wajo menuju kepada kebesaran dan kejayaan antara lain :
  1. LATADAMPARE PUANGRIMAGGALATUNG
  2. PETTA LATIRINGENG TO TABA ARUNG SIMETTENGPOLA
  3. LAMUNGKACE TOADDAMANG
  4. LATENRILAI TOSENGNGENG
  5. LASANGKURU PATAU
  6. LASALEWANGENG TO TENRI RUA
  7. LAMADDUKKELLENG DAENG SIMPUANG, ARUNG SINGKANG (Pahlawan Nasional)
  8. LAFARIWUSI TOMADDUALENG
Dan masih banyak lagi nama-nama yang berjasa di Tanah Wajo yang menjadi peletak dasar kebesaran dan kejayaan Wajo.

Beberapa versi tentang kelahiran Wajo, yakni :
  1. Versi Puang Rilampulungeng
  2. Versi Puang Ritimpengen
  3. Versi Cinnongtabi
  4. Versi Boli
  5. Versi Kerajaan Cina
  6. Versi masa Kebataraan
  7. Versi masa ke Arung Matoa-an
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tahun dari pada Hari Jadi Wajo ialah versi Boli, yakni pada waktu pelantikan Batara Wajo pertama LATENRI BALI Tahun 1399, dibawah pohon besar (pohon Bajo). Tempat pelantikan sampai sekarang masih bernama Wajo-Wajo, di daerah Tosora Kecamatan Majauleng.
Terungkap bahwa, pada mulanya LATENRI BALI bersama saudaranya bernama LATENRI TIPPE secara berdua diangkat sebagai Arung Cinnongtabi, menggantikan ayahnya yang bernama LAPATIROI. Akan tetapi dalam pemerintahannya, LATENRI TIPPE sering berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang diistilahkan ”NAREMPEKENGNGI BICARA TAUWE”, maka LATENRI BALI mengasingkan dirinya ke Penrang (sebelah Timur Tosora) dan menjadi Arung Penrang. Akan tetapi tak lama kemudian dia dijemput rakyatnya dan diangkat menjadi Arung Mata Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara pelantikan dibawah pohon Bajo, terjadi perjanjian antara LATENRI BALI dengan rakyatnya dan diakhiri dengan kalimat ”BATARAEMANI TU MENE’ NA JANCITTA, TANAE MANI RIAWANA” (Hanya Batara Langit di atasnya perjanjian kita, dan bumi di bawahnya) NARITELLANA PETTA LATENRI BALI PETTA BATARA WAJO.
Berdasarkan perjanjian tersebut, maka dirubahlah istilah Arung Mata Esso menjadi Batara, dan kerajaan baru didirikannya, yang cikal bakalnya dari Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan Wajo, dan LATENRI BALI menjadi Batara Wajo yang pertama.
 Sedangkan untuk menentukan tanggal Hari Jadi Wajo, dikemukakan beberapa versi, yakni :
  1. Versi tanggal 18 Maret, ketika armada Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada Belanda di perairan Pulau Barrang dan Koddingareng.
  2. Versi tanggal 29 Maret, ketika dalam peperangan terakhir, Lamaddukkelleng di Lagosi, dapat memukul mundur pasukan gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya.
  3. Versi tanggal 16 Mei, ketika Lasangkuru Patau bergelar Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo, memeluk agama Islam.
  4. Versi ketika Andi Ninnong Ranreng Tuwa Wajo, menyatakan di depan Dr. SAM RATULANGI dan LANTO DG. PASEWANG di Sengkang pada Tahun 1945 bahwa rakyat Wajo berdiri di belakang Negara Kesatuan Indonesia.
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tanggal daripada Hari Jadi Wajo, ialah versi tanggal 29 Maret, karena sepanjang sejarah belum pernah ada pejuang yang mampu mengalahkan Belanda pada pertempuran terakhir. Peristiwa ini terjadi pada Tahun 1741.
Dengan perpaduan dua versi tersebut di atas, maka disepakati: Hari Jadi Wajo ialah Tanggal 29 Maret 1399.

 Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Wajo pada masanya, disebabkan oleh berbagai aspek sebagaimana telah dikemukakan tedahulu, namun ada hal yang sangat hakiki yang perlu mendapatkan perhatian, yakni adanya kepatuhan dan ketaatan Raja dan rakyatnya terhadapat Pangadereng, Ade yang diwarisi dan disepakati, Ade Assiamengeng, Ade Amaradekangeng, sistem Ade dengan sitilah ADE MAGGILING JANCARA, serta berbagai falsafah hidup, pappaseng dan sebagainya.
Kepatuhan dan ketaatan rakyat Wajo terhadap rajanya, sebaliknya perhatian dan pengayoman raja terhadap rakyatnya adalah satu aspek terwujudnya ketentraman dan kedamaian dalam menjalankan pemerintahan pada masa itu. Hal ini dapat kita lihat, pada saat LA TIRINGENG TO TABA dalam kedudukannya sebagai Arung Simettengpola mengadakan perjanjian dengan rakyatnya. Perjanjian ini dikenal dengan ”LAMUNGPATUE RILAPADDEPA” (Penanaman batu = Perjanjian Pemerintahan di Lapaddeppa’).
Inti dari perjanjian ini ialah bahwa rakyat akan patuh terhadap perintah raja, asalkan atas kebaikan dan kemaslahatan rakyat, demikian pula raja akan senantiasa mengayomi rakyatnya dengan dasar Ade, Pengadereng (hukum), dengan pengakuannya :
”IO TO WAJO, MAUTOSA MUPAMESSA’, MUA RIATIMMU, MUPAKEDOI RILILAMU MAELO’E PASSUKKA’ RIAKKARUNGEKKU RI BETTENGPOLA, MAPERING TOKKO NA BACU BACUE, ONCOPISA REKKO MUELOREKKA’MAJA’ MATTI PAJJEO TO WAJO”
Artinya :
Ya orang-orang Wajo, sekalipun menimbulkan dalam hatimu atau menggerakkan dalam lidahmu, hendak mengeluarkan aku dari jabatan kerajaanku di Bettengpola, engkau akan tersapu bersih dari pada tersapunya batu-batu. Apalagi jika kalian bermaksud jahat terhadapku, maka engkau kering bagaikan garam.
Pada bagian lain Petta Latiringeng To Taba Arung Sao Tanre, Arung Simettengpola mengemukakan ”NAPULEBBIRENGNGI TO WAJJOE MARADEKA NAKKEADE’, NAMAFACCING RI GAU SALAE, NAMATINULU MAPPALAONG, NASABA RESOFA TEMMANGINGNGI MALOMO NALETEI PAMMASE DEWATA, NAMAFAREKKI WARANG PARANG, NASABA WARANG PARANGMITU WEDDING MAPPATUWO, WARANG PARANG MITU WEDDING MAPPAMATE”.
Artinya :
Yang menjadikan orang Wajo mulia ialah Kemerdekaan yang menjunjung tinggi hukum dan hak azasi manusia, ia rajin bekerja, karena hanya dengan kerja keras sebagai titian untuk mendapatkan limpahan Rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Hemat terhadap harta benda, karena harta benda orang bisa hidup sempurna dan harta benda pula bisa mematikan orang.
Apa yang telah diletakkan oleh Batara Wajo Pertama ini, oleh Batara Wajo dan Arung Matowa berikutnya terus dikembangkan sampai masa pemerintahan ARUNG MATOWA WAJO KEEMPAT: LATADAMPARE PUANG RIMAGGALATUNG, Wajo mencapai kejayaan. Pada masa pemerintahan inilah selama sepuluh tahun disempurnakan segala peraturan hukum adat, pemerintahan dan peradilan, dan mengajarkan etika pemerintahan, merealisasikan demokrasi dan hak-hak azasi manusia, konsep negara sebagai abdi rakyat (public servent) dan konsep Rule of Law (hukum yang dipertuan bukan raja).
Salah satu Ade Amaradekangengna yang dimuat secara terpencar dalam Lontarak Sukkuna Wajo, yang selanjutnya menjadi motto pada Lambang Daerah Kaubpaten Wajo (walaupun disingkatkan), antara lain berbunyai :

”MARADEKA TOWAJOE NAJAJIAN ALENA MARADEKA, TANAEMMI ATA, NAIYYA TOMAKKETANAE MARADEKA MANENG, ADE ASSAMA TURUSENNAMI NAPOPUANG”.
Artinya :
Orang-orang Wajo, adalah orang merdeka, mereka merdeka sejak dilahirkan, hanya negeri mereka yang abdi, sedangkan si pemilik negeri (rakyat) merdeka semua dan hanya hukum adat yang disetuji bersama yang mereka pertuan.
Kebesaran dan kemuliaan Tana Wajo disebutkan dalam Lontarak :
MAKKEDATOI ARUNG SAOTANRE PETTA TO TABA’ LA TIRINGENG : ”NAIA PARAJAIENGNGI WAJO’, BICARA MALEMPU’E NAMAGETTENG RI ADE’ MAPPURAONRONA, NAMASSE’ RI ADE’ AMMARADEKANGENNA IA TONA PASIAMASENGNGE TAUE RI LALEMPANUA, PASIO’DANINGNGE TAU TEMMASSEAJINGNGENG, NASSEKITOI ASSEAJINGENNA TANAE. NAPOALIE’-BIRETTOI TO WAJO’E MARADEKAE, NAIATOSI NAPOASALAMAKENGNGE TO WAJO’E MAPACCINNA ATINNA NAMALEMPU’, NAMATIKE’, NAMATUTU, NAMETAU’ RI DEWATA SEAUAE, NAMASIRI’ RIPADANNA TAU. LATONARO KUAE PACCOLLI’I PA’DAUNGNGI WAJO’, PATTAKKEI, PAPPALEPANGNGI, PAPPARANGA-RANGAI, NALORONG LAO ORAI’, LAO ALAU’, LAO MANINAG, LAO MANORANG, MATERENG RAUNNA MACEKKE’ RIANNAUNGI RI TO WAJO’E”.
Artinya :
Berkata pula Arung Saotanre Tuan Kita To Taba’ La Tiringeng: ”Yang membesarkan Wajo, ialah peradilan yang jujur, getang pada adat tetapnya dan teguh pada adat kebesarannya. Itu pula yang menyebabkan orang-orang saling mengasihi di dalam negeri, saling merindui orang-orang yang tidak bersanak dan mengukuhkan persahabatan negeri. Menjadikan pula orang-orang Wajo mulia karena kebebasannya. Yang menyelamatkan orang-orang Wajo, ialah ketulusan hatinya dan kejujurannya lagi waspada, berhati-hati, takut kepada Dewata Yang Esa dan menghargai harkat sesamanya manusia. Yang demikian itulah yang memutikkan dan mendaunkan Wajo, menangkaikan dan memelepahkan serta melebarkannya, menjalar ke barat, timur, selatan dan ke utara, rimbun dan dingin daunnya dinaungi oleh orang-orang Wajo”.
Nilai-nilai luhur yang antara lain dikemukakan di atas, maupun dalam Lontarak Sukkuna Wajo adalah kearifan yang menjadi jati diri rakyat Wajo, yang seharusnya kita kembangkan dan lestarikan.
Sumber :
  1. Wajo Abad XV-XVI, Suatu Penggalian Sejarah terpendam Sulawesi Selatan dari Lontara;
    Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin, 1985
  2. Munculnya Kerajaan Elektif Wajo, Suatu Percobaan untuk Menemukan Hari Jadi Daerah Wajo;
    Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin, 1985
  3. Sejarah Singkat Hari Jadi Wajo;
    Drs. Hamid M. ; Andi Pabbarangi ; Dammar Jabbar, Maret 2000
  4. Panitia Hari jadi Wajo (HJW). ke-610 Tahun 2009
  5. www.wajokab.go.id

SEJARAH KABUPATEN TANA TORAJA

Sebelum menggunakan kata “TANA TORAJA “ pada mulanya terkenal dengan nama “TONDOK LEPONGAN BULAN TANA MATARI’ALLO “, yang mengandung arti : Negri Dengan Bentuk Pemerintahan Dan Kemasyarakatannya,Merupakan Suatu Kesatuan Yang Bulat Bagaikan Bulan Dan Matahari “.
Kata Tana Toraja baru dikenal sejak abad ke XVII yaitu sejak daerah ini mengadakan hubungan dengan beberapa daerah tetangga,yang dalam hal ini kerajaan-kerajaan didaerah bugis yakni: Bone, Sidenreng dan luwu.
Adapun beberapa pendapat tentang arti tentang arti kata tana Tana Toraja antara lain dari bahasa bugis TO =ORANG,RIAJA = DARI UTARA.Ada pula yang berpendapat bahwa kata Toraja berasal dari kata TO RIAJA yang berarti ORANG DARI BARAT, anggapan ini diberikan oleh orang –orang dari daerah Luwu,pada pemulaan abad ke XIX yang pada saat itu penjajah mulai merentangkan sayapnya kedaerah pedalaman Sulawesi selatan.
Tahun 1906 pasukan penjajah tiba di Rantepao dan Makale melalui palopo. Saat tibanya kaum penjajah di Rantepao dan Makale tersebut maka perlawanan gigih mulai juga dilancarkan oleh beberapa penguasa antara lain PONGTIKU, BOMBING,WA’SARURAN dan lain- lain yang menimbulkan cukup banyak korban dipihak kaum penjajah.

Pemerinta Hindia Belanda mulai menyusun pemerintahannya yang terdiri dari DISTRIK,BUA’ dan KAMPUNG yang masing-masing dipimpin oleh penguasa setempat ( PUANG MA’DIKA ).
Setelah 19 tahun Hindia Belanda berkuasa di daerah ini, Tana Toraja dijadikan sebagai ONDERRAFDELING dibawah SELFBERSTUUR Luwu di Palopo yang terdiri dari 32 Landchaap dan 410 kampung dan sebagai controleuur yang pertama yaitu; H.T. MANTING.
Pada tanggal 18 Oktober 1946 dengan besluit LTGG tanggal 8 Oktober 1946 Nomor 5 ( Stbld Nomor 105 ) Onderafdeling Makale/Rantepao dipisahkan dari Swapraja yang berdiri sendiri dibawah satu pemerintahan yang disebut TONGKONAN ADA’.
Pada saat Pemerintahan berbentuk serikat (RIS ) tahun 1946 TONGKONAN ADA’ diganti dengan suatu pemerintahan darurat yang beranggotakan 7 orang dibantu oleh satu badan yaitu KOMITE NASIONAL INDONESIA ( KNI ) yang beranggotakan 15 orang.
Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Selatan Nomor 482, Pemerintah Darurat diadakan dan pada tanggal 21 Pebruari 1

Dengan Surat Keputusan gubernur Kepala Daerah Sulawesi Selatan Nomor 482, Pemerintah Darurat dibubarkan dan pada tanggal 21 Pebruari 1952 diadakan serah terima Pemerintahan Kepada Pemerintahan Negeri (KPN ) Makale/Rantepao yaitu kepada Wedana ANDI ACHMAD.Dan pada saat itu wilayah yang terdiri dari 32 Distrik,410 Kampung dirubah menjadi 15 Distrik dan 133 Kampung.
Berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1957 dibentuk Kabupaten Daerah Tingkat II Tana-Toraja yang peresmiannya dilakuan pada tanggal31 agustus 1957 dengan Bupati Kepala Daerah yang pertama bernama LAKITTA.
Pada tahun 1961 berdasarkan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 2067 A,Administrasi Pemerintahan berubah dengan penghapusan sistim Distrik dan Pembentukan Pemerintahan Kecamatan.
Tana Toraja Pada waktu itu terdiri dari 15 Distrik dengan 410 Kampung berubah menjadi 9 Kecamatan dengan 135 Kampung,Kemudian dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 450/XII/1965 tanggal 20 desember 1965 diadakan pembentukan Desa Gaya Baru.
Berdasarkan petunjuk surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi selatan tentang pembentukan Desa Gaya Baru tersebut, ditetapkan surat keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tana Toraja Nomor 152/SP/1967 tanggal 7 september1967 tentang pembentukan Des Gaya Baru dalam kabupaten daerah Tingkat II Tana Toraja sebanyak 65 Desa Gaya Baru yang terdiri atas 186 Kampung dengan perincian sebagai berikut:

1. Kecamatan Makale 7 Desa 20 Kampung
2. Kecamatan Sangalla’ 4 Desa 8 Kampung
3. Kecamatan Mengkendek 6 Desa 20 Kampung
4. Kecamatan Saluputti 10 Desa 25 Kampung
5. Kecamatan Bonggakaradeng 4 Desa 15 Kampung
6. Kecamatan Rantepao 4 Desa 18 Kampung
7. Kecamatan Sanggalangi’ 9 Desa 40 Kampung
8. Kecamatan Sesean 11 Desa 18 Kampung
9. Kecamatan Rindingallo 10 Desa 22 Kampung
Jumlah 65 Desa 186 Kampung
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan Peraturan pelaksanaannya, dari 65 Desa Gaya Baru tersebut berubah menjadi 45 desa dan 20 Kelurahan.
Dengan keluarnya Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor ;168/XI/1982,wilaya Kabupaten Tana Toraja terdiri dari 9 Kecamatan dan 22 Kelurahan serta 63 Desa.
Berdasarkan Surat Keputusan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 1988 tanggal 26 September 1988,dibentuk wilaya kerja Pembantu Bupati Kepala Daerah Wilaya Utara yang dipimpin oleh seorang Wedana Pembantu Bupati Wilaya Utara yang meliputi;
1. Kecamatan Rantepao
2 Kecamatan Sanggalangi’
3. Kecamatan Sesean
4. Kecamatan Rindingallo
Adapun pejabat WEDANA Pembantu Bupati Wilaya Utara berturut-turut sebagai berikut:
1.Drs. Bartho Sattu Tahun 1989-1990
2.Drs.Soleman Tahun 1990-1996
3.Drs.A.Palino Popang Tahun 1996-1999
4.Drs.Y.S. Dalipang Tahun 1999-2000
Setelah keluarnya Surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 954/XI/1998 tanggal 14 Desember 1998,wilaya Kabupaten Tana Toraja terdiri dari 9 kecamatan defenitif, 6 Perwakilan Kecamatan, 22 Kelurahan,dan 63 Desa. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah,dan ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Daerah No.18 Tahun 2000 tanggal 29 Desember 2000, 6 Perwakilan Kecamatan menjadi defenitif sehingga jumlah kecamatan seluruhnya menjadi 15 Kecamatan.Selanjutnya dengan terbitnya Peraturan daerah No.2 Tahun 2001 tanggal 11 april 2001 keseluruhan desa yang ada berubah nama menjadi Lembang.

Setelah ditetapkannya Peraturan Daerah No. 2 tahun 2001 tentang perubahan Pertama Peraturan Daerah No. 18 Tahun 2000,Peraturan Daerah Kabupaten Tana-Toraja Nomor 8 Tahun 2004 tentang perubahan Kedua Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2000, serta peraturan daerah nomor 6 Tahun 2005 tentang perubahan Ketiga peraturan Daerah Nomor 18 tahun 2000,Wilaya Kabupaten Tana-toraja menjadi 40 kecamatan, 87 Kelurahan dan 223 Lembang sampai sekarang.

Sumber : www.torajakab.go.id

SEJARAH KABUPATEN SOPPENG

Asal mula nama Soppeng para pakar dan budayawan belum ada kesepakatan bahwa dalam sastra bugis tertua I LAGALIGO telah tertulis nama kerajaan Soppeng yang berbunyi :
“ IYYANAE SURE PUADA ADAENGNGI TANAE RI SOPPENG, NAWALAINNA SEWO-GATTARRENG, NONI MABBANUA TAUWE RI SOPPENG, NAIYYA TAU SEWOE IYANARO RI YASENG TAU SOPPENG RIAJA, IYYA TAU GATTARENGNGE IYANARO RIASENG TAU SOPPENG RILAU.
Berdasarkan naskah lontara tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penduduk tanah Soppeng mulanya datang dari dua tempat yaitu sewo dan Gattareng.
 
PENGANGKATAN DATU PERTAMA KERAJAAN SOPPENG
Didalam lontara tertulis bahwa jauh sebelum terbentuknya Kerajaan Soppeng telah ada kekuasaan yang mengatur jalannya Pemerintahan yang berdasarkan kesepakatan 60 Pemuka Masyarakat, hal ini dilihat dari jumlah Arung, Sullewatang, Paddanreng, dan Pabbicara yang mempunyai daerah kekuasaan sendiri yang dikoordini olih LILI-LILI
Namun suatu waktu terjadi suatu musim kemarau disana sini timbul huru-hara, kekacauan sehingga kemiskinan dan kemelaratan terjadi dimana-mana olehnya itu 60 Pemuka Masyarakat bersepakat untuk mengangkat seorang junjungan yang dapat mengatasi semua masalah tersebut

Tampil Arung Bila mengambil inisiatif mengadakan musyawarah besar yang dihadiri 30 orang matoa dari Soppeng Riaja dan 30 orang Matoa dari Soppeng Rilau, sementara musyawarah terganggu dan Arung Bila memerintahkan untuk menghalau burung tersebut dan mengikuti kemana mereka terbang.
Burung Kakak Tua tersebut akhirnya sampai di Sekkanyili dan ditempat inilah ditemukan seorang berpakaian indah sementara duduk diatas batu, yang bergelar Manurungnge Ri Sekkanyili atau LATEMMAMALA sebagai pemimpin yang diikuti dengan IKRAR, ikrar tersebut terjadi antara LATEMMAMALA dengan rakyat Soppeng.
Demikianlah komitmen yang lahir antara Latemmamala dengan rakyat Soppeng, dan saat itulah Latemmamala menerima pengangkatan dengan Gelar DATU SOPPENG, sekaligus sebagai awal terbentuknya Kerajaan Soppeng, dengan mengangkat Sumpah di atas Batu yang di beri nama “LAMUNG PATUE” sambil memegang segenggam padi denga mengucapkan kalimat yang artinya “isi padi tak akan masuk melalui kerongkongan saya bila berlaku curang dalam melakukan Pemerintahan selaku Datu Soppeng”.
 
PERUMUSAN HARI JADI SOPPENG
Soppeng yang memiliki sejarah cemerlang dimasa lalu, dengan memperhatikan berbagai masukan agar penempatan Hari Jadi Soppeng, diadakan seminar karena kurang tepat bila dihitung dari saat dimulainya Pelaksanaan Undang-undang Darurat Nomor 04 Tahun 1957, sebab jauh sebelumnya didalam lontara, Soppeng telah mengenal sistem Pemerintahan yang Demokrasi dibawah kepemimpinan Raja dan Datu. Maka dilaksanakanlah Seminar Sehari pada Tanggal 11 Maret 2000, yang dihadiri oleh para pakar, Budayawan, Seniman, Ahli Sejarah, Tokoh Masyarakat, AlimUlama, Generasi Muda dan LSM, dimana disepakati bahwa hari Jadi Soppeng dimulai sejak Pemerintahan TO MANURUNGNGE RI SEKKANYILI atau LATEMMAMALA tahun 1261, berdasarkan perhitungan dengan menggunakan BACKWARD CONTING, dan mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Soppeng untuk dibahas dalam Rapat Paripurna dan mengesahkan untuk dijadikan salam suatu Peraturab Daerah tentang Hari Jadi Soppeng.
Dari hasil rapat Paripurna Dewan perwakilan Rakyat Daerah kabupaten Soppeng, Tanggal 12 Maret 2001 telah menetapkan dan mengesahkan suatu Peraturan Daerah Kabupaten Soppeng, Nomor 09 Tahun 2001, Tanggal 12 Maret 2001, bahwa Hari Jadi Soppeng Jatuh pada Tanggal 23 Maret 1261.
Ringkasan arti dari pemakaian Hari jadi Soppeng yakni angka 2 dan angka 3, karena angka tersebut mempunyai makna sejarah dan filosofi sebagai berikut :
1. Angka 2 menunjukkan :
a. Dua ke Datuan yakni Soppeng Rilau dan Soppeng Riaja
b. Dua Tomanurung yaitu : TOMANURUNG RI SEKKANYILI DAN TO MANURUNG RI GORIE.
c. Dua Cakkelle/Burung Kakaktua yang memperebutkan setangkai padi, yang merupakan petunjuk para matoa yang bermusyawarah mengatasi krisi kelaparan, akhirnya menemukan Tomanurungnge RI SEKKANYILI
d. Dua Pegangan hidup yaitu kejujuran dan keadilan.
e. Dua hal yang tidak bisa dihindari yaitu nasib dan takdir.
f. Dua tanranna namaraja tanaE
- Seorang pemimpin harus jujur dan pintar
- Masyarakat hidup aman, tentram dan damai.

2. Angka 3 menunjujjan :
a. adanya perjanjian 3 kerajaan yaitu : Bone, Soppeng dan Wajo yang dikenal dengan Tellu PoccoE.
b. Taring Tellu Menunjukkan tempat bertumpu yang sangat kuat dan stabil.
c. TELLU RIALA SAPPO, yaitu TAUE RIDEWATAE, TAUE RI WATAKKALE, TAUE RI PADATTA RUPA TAU.
d. TELLU EWANGENNA LEMPUE, yaitu kejujuran, kebenaran dan keteguhan.

3. Angka Dua Tellu bermakna :
a. Dua Tellu bermakna antara lain murah reski.
b. - Dua temmasarang, artinya Allah dan hambanya tidak pernah berpisah.
- Tellu temmalaiseng, artinya Allah Malaikat dan hamba selalu bersama-sama.
c. Tellu Dua Macciranreng, Tellu-Tellu Tea Pettu bermakna berpintal dua sangat rapu, berpintal tiga tidak akan putus.
d. - Mattulu Parajo Dua Siranreng teppettu sirangreng.
- Marutte Parajo, Mattulu Tellu Tempettu Silariang, bermakna tidak saling membohongi, nanti akan putus jika putus bersama.

4. dipilihnya bulan tiga atau maret Karen :
a. Bulan Terbentuknya Kabupaten Soppeng
b. Bulan Pelaksanaan Seminar hari Jadi Soppeng.

5. selain itu angka dua atau tiga juga bermakna :
- jika angka 2 + 3 = 5 yang berarti :
a. makna kata dalam huruf karawi lambing Daerah yaitu ADE, RAPANG, WARI, BICARA, SARA’
b. Rukun Islam
c. Pancasila
- jika angka 2 X 3 = 6 yang bermakna : Rukun Islam

6. dipilihnya tahun 1261 adalah menggunakan BACKWARD COUNTING, yaitu pemerintahan Datu Soppeng pertama TAU MANURUNGNGE RI SEKKANYILI atau LATEMMAMALA pada tahun 1261. sehingga dengan demikian hari jadi Soppeng ditetapkan pada tanggal 23 Maret 1261.

Sumber : http://andev.multiply.com

SEJARAH KABUPATEN PINRANG

Tersebutlah suatu peristiwa di Sawitto pada waktu pemerintahan La Paleteang Raja IV, Kerajaan Sawitto. Dimana pada waktu itu terjadi peperangan antara Sawitto dan Gowa, Perang ini terjadi karena Gowa sebagai kerajaan besar, berusaha untuk menguasai Sawitto yang kondisi dan potensinya menjanjikan setumpuk harapaan. Berbagai upaya yang telah digunakan Gowa untuk menguasai Sawitto melalui agresi dan terjadilah perang antar Sawitto dan Gowa sekitar Tahun 1540.
Prajurit - parjurit Sawitto dengan gigih mengadakan perlawanan abdi kerajaan mati - matian mempertahankan dan membela bumi ini berkesudahaan dengan kekalahan dipihak Sawitto sehingga raja La Paleteang dan isterinya dibawa ke Gowa sebagai tanda kemenangan Gowa atas Sawitto. Awan yang meliputi kesedihan rakyat atas kepergian sang raja yang arif dan bijaksana. Upaya yang dilakukan membebaskan sang raja bersama permaisuri kerajaan Sawitto. Akhirnya dalam suatu musyawarah kerajaan terpilih dua Tobarani, yaitu Tolengo dan To Kipa untuk mengemban tugas membebaskan sang raja beserta permaisurinya. Kemudian berangkatlah kedua bersaudara tersebut ke Gowa yang berhasil membawa pulang raja La Paleteang beserta permaisurnya. Kedatangan raja bersama permaisuri, disambut dengan luapan kegembiraan dan di elu - elukan sepanjang jalan menuju istana. dibalik kegembiraan itu, mereka terharu melihat kondisi sang raja yang mengalami banyak perubahan seraya mengatakaan " PINRA KANA NI TAPPA NA DATUE POLE RI GOWA " Yang artinya wajah raja menagalami perubahan sekembali dari Gowa. Kata-kata inilah senantiasa terlontar dari orang - oraang yang menyertai sang raja. Ketika raja beristrahat sejenak sebelum tiba di istana bertitahlah sang raja kepada pengantarnya untuk menyebut tempat tersebut dengan nama PINRA.

Sumber lain ini mengatakan pemukiman kota Pinrang yang dahulunya rawa-rawa yang selalu tergenang air membuat masyarakat senantiasa berpindah-pindah mencari wilayah pemukiman yang bebas genangan air, berpindah-pindah atau berubah-ubah pemukiman, dalam bahasa bugis disebut "PINRA - PINRA ONROANG" setelah masyarakat menemukan tempat pemukiman yang baik, maka diberinya tempat tersebut:PINRA-PINRA.Dari kedua sejarah yang berbeda itu lahirlah istilah yang sama yaitu " PINRA " kemudian kata itu dalam perkembangannya dipengaruhi oleh intonasi dan dialek bahasa bugis sehingga menjadi Pinrang yang sekarang ini diabadikan menjadi Kabupaten Pinrang.
Sebagaimana diketahui bahwa ketika jepang masuk di pinrang sekitar tahun 1943 sistem Pemerintahan warisan kolonial dengan struktur lengkap yang terdiri dari 4 (Empat) swapraja, masing - masing Swapraja Sawitto, Swapraja Batu Lappa, Swapraja Kassa dan Swapraja Suppa. Ketika Pinrang menjadi onder-afdeling di bawah afdeling Parepare Sementara afdeling Parepare adalah salah satu afdeling dari tujuh afdeling yang ada di propinsi Sulawesi.
Dengan ditetapkannya PP Nomor 34/1952 tentang perubahan daerah Sulawesi selatan,pembagian wilayahnya menjadi menjadi daerah swatantra. Pertimbangan diundangkannya PP tersebutadalah untuk memenuhi keinginan rakyat dan untuk memperbaiki susunan dan penyelenggaraan pemerintahan. Daerah swantantra yang dibentuk adalah sama dengan wilayah afdeling yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur Timur besar (GROTE GOSTE) tanggal 24 juni 1940 nomor 21, kemudian diubah oleh Keputusan Gubernur Sulawesi nomor 618/1951.Perubahan adalah kata afdeling dirubah menjadi daerah swatantra dan onder afdeling menjadi kewedaan. Dengan perubahan tersebut maka onder afdeling pinrang berubah menjadi kewedanaan pinrang yang membawahi empat swapraja dan distrik.dengan status demikian inilah pemerintahan senantiasa mengalami pasang surut ditengah-tengah pasang surutnya keadaan pemerintahan, upaya memperbaiki struktur dan penyelenggaraan pemerintahan di satu sisi,disamping memenuhi kebahagiaan dan keinginan rakyat. Maka pada tahun 1959 keluarlah satu undang-undang yang dikenal dengan undang-undang nomor 29/1959 yang berlaku pada tanggal 4 juli 1959 tentang pembentukan daerah-daerah TK.II di Sulawesi yang praktis. Membentuk Daerah Tingkat II Pinrang pula.namun hal ini belum dapat dijadikan sebagai patokan lahirnya Kabupaten Daerah TK.II Pinrang.Berhubung unsur Pemerintahannya yang merupakan organ atau bagian yang belum ada.
 Setelah keluarnya surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: UP-7/3/5-392 tanggal 28 januari 1960 yang menunjuk H.A.MAKKOELAOE menjadi Kepala DaerahTK.II Pinrang. Karena pada saat itu unsur atau organ sebagai perangkat daerah otonomi telah terpenuhi. kemudian dikaji melalui suatu simposium yang dilakukan oleh kelompok pemuda khususnya KPMP Kabupaten Pinrang dan diteruskan kepada DPRD untuk dituangkan kedalam suatu PERDA tersendiri.

Sumber : http://pinrangkab.go.id

SEJARAH KABUPATEN ENREKANG

Sejak abad XIV, daerah ini disebut MASSENREMPULU yang artinya meminggir gunung atau menyusur gunung, sedang sebutan Enrekang dari ENDEG yang artinya NAIK DARI atau PANJAT dan dari sinilah asal mulanya sebutan ENDEKAN. Masih ada arti vrsi lain yang dalam pengertian umum sampai saat ini bahkan dalam Adminsitrasi Pemerintahan telah dikenal dengan nama “ENREKANG” versi Bugis sehingga jika dikatakan bahwa Daerah Kabupaten Enrekang adalah daerah pegunungan, sudah mendekati kepastian sebab jelas bahwa Kabupaten Enrekang terdiri dari gunung-gunung dan bukit-bukit sambung menyambung mengambil ± 85 % dari seluruh luas wilayah yang luasnya ± 1.786.01 Km².

Pada mula terbentuknya Kabupaten Enrekang yang telah mengalami beberapa kali pergantian Bupati sampai sekarang, antara lain :

Periode 1960 - 1963 dijabat oleh ANDI BABBA MANGOPO
Periode 1963 - 1964 dijabat oleh M. NUR
Periode 1964 - 1965 dijabat oleh M. CAHTIF LASINY
Periode 1965 - 1969 dijabat oleh BAMBANG SOETRESNA
Periode 1969 - 1971 dijabat oleh ABD. RACHMAN, BA.
Periode 1971 - …… dijabat oleh Drs. A. PARAWANSA (Pjs.)
Periode 1971 - 1978 dijabat oleh MUCH. DAUD (± 2 Thn masa non Fictive )
Periode 1978 - 1983 dijabat oleh H. ABDULLAH DOLLAR, BA.
Periode 1983 - 1988 dijabat oleh M. SALEH NURDIN AGUNG
Periode 1988 - 1993 dijabat oleh H. M. AMIN SYAM
Periode 1993 - 1998 dijabat oleh H. ANDI RACHMAN
Periode 1998 – 6 Oktober 2003 dijabat oleh Drs. H. IQBAL MUSTAFA Wakil Bupati Drs. ZAINI BADAWING
Periode 2003 – 2008 dijabat oleh Ir. H. LA TINRO LA TUNRUNG Wakil Bupati H. MUH. LODY SINDANGAN, SH. M.Si.
Periode 2008 (Mei s/d Oktober 2008) dijabat oleh H. MUH. LODY SINDANGAN, SH. M.Si. (Menjabat selama 5 bulan, menggantikan H. La tinro La Tunrung, yang ikut dalam pencalonan Bupati Periode 2008 - 2013)
Periode 2008 sampai sekarang dijabat oleh Ir. H. LA TINRO LA TUNRUNG Wakil Bupati Drs. NURHASAN.
Dilantik oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo pada tanggal 9 Oktober 2008, di Lapangan Batili Abu Bakar Lambogo.

Pelantikan Bupati Enrekang yang pertama tepat pada tanggal 19 Pebruari 1960 yang juga menjadi hari terbentuknya DAERAH KABUPATEN ENREKANG.

Kemudian tidak adillah bila kita tidak menyebutkan para mantan Pimpinan Daerah dibidang legistalif sampai sekarang antara lain :

ANDI BABA MANGOPO (merangkap Bupati karena masih DPRD GR) Tahun 1960 – 1963
ABD. RAHMAN, BA.
H. ARIFIN ALI
MAHATMANTONG
M. JAFAR
IBRAHIM TAQWA
H.M. MIEN KAMASE
JAMALUDDIN TANTI
M. SALEH NURDIN AGUNG sebagai Ketua dan Wakilnya MAYOR ABDUL LATIF.
H. ABD. SAMAD MANNAN sebagai Ketua dan Wakilnya MAYOR CHK HUSAIN GANTARAN, SH.
H.M. ALI RAHIM sebagai Ketua dan Wakilnya Drs. MUSTAFA CAWIDU dan LETKOL MUSTAFA BK.
H. JK. SAWATI (periode 1999 – 2004 )
- Periode 1999 - ….. wakilnya MAYOR CHOIRI

- Periode 1999 – 2004 Wakilnya MAYOR CHOIRI dan H. ACHMAD ANGGORO

- Periode 2004 – 2005 Wakilnya SAFRUDDIN, SH dan H. ACHMAD ANGGORO

- Periode 2005 - 2008 H. AHMAD ANGGOR wakilnya SAFRUDDIN,SH dan Drs. H. MUSTAKIM

PEMERINTAHAN

Sebelum terbentuknya menjadi Kabupaten berturut-turut mengalami perubahan bentuk :

PERTAMA : Menurut sejarah pada mulanya Kabupaten Enrekang adalah merupakan suatu kerajaan besar yang bernama MALEPONG BULAN, kemudian kerajaan ini bersifat MANURUNG yang terdiri dari 7 kawasann yang lebih dikenal dengan ”PITU MASSENREMPULU” yaitu :

1. ENDEKAN
2. KASSA
3. BATU LAPPA
4. DURI
5. MAIWA
6. LETTA
7. BARINGIN

( 7 Massenrempulu ) ini terjadi kira-kira dalam abad ke XIV dan kerajaan tersebut berubah menjadi LIMA MASSENREMPULU yakni :

1. ENDEKAN
2. DURI
3. MAIWA
4. KASSA
5. BATU LAPPA
( Kira – kira abad ke XVII )

Karena Politik Devide At Impera Pemerintah Belanda memecah daerah ini dengan adanya Surat Keputusan dari Perintah Kerajaan Belanda (KORTE VERKLARING ) dimana kerajaan KASSA dan kerajaan BATU LAPPA dimasukkan ke SAWITTO. Ini terjadi ± Tahun 1905 ( abad XX ), sehingga untuk tetap pada keadaan LIMA MASSENREMPULU tersebut, maka kerajaan-kerajaan yang ada didalamnya dipecah sehingga menjadi :

1. Kerajaan itu pada Zaman penjajahan Belanda secara Admisnitrasi Belanda menjadi Landshcap

2. Tiap Landschap dipimpin oleh seorang Arung ( Zelftbesteur ) dan dibantu oleh SULEWATANG dan PABBICARA, ARUNG LILI tetapi kebijaksanaan tetap ditangan Belanda sebagai Kontroleur.

FEDERASI

DURI

TALLU BATU PAPAN

ENDEKAN ( ENREKANG )

MAIWA

ALLA

BUNTU BATU

MALUA

KEDUA : Dalam zaman penjajahan sejak Tahun 1012 sampai dengan 1941 berubah kembali menjadi ”ONDER AFDELING” yang dikepalai oleh seorang Kontroleur ( Tuan PETORO ).

KETIGA : Dalam zaman Pendudukan Jepang ( 1941 – 1945 ) ONDER AFDELING ENREKANG berubah nama menjaddi KANRIKAN, Pemerintahan dikepalai oleh seorang BUNKEM KANRIKAN.

KEEMPAT : Dalam zaman NICA ( NIT 1946 – 27 Desember 1949 ) kembali Kawasan Massenrempulu menjadi ONDER AFDELING ENREKANG.

KELIMA : Kemudian sejak tanggal 27 Desember 1949 sampai 1960 Kawasan Massenrempulu berubah menjadi KEWEDANAAN ENREKANG dengan pucuk pimpinan Pemerintahan disebut Kepala Pemerintahan Negeri Enrekang ( KPN ENREKANG ) dan meliputi 5 (lima) SWAPRAJA :

1. SWAPRAJA ENREKANG
2. SWAPRAJA ALLA
3. SWAPRAJA BUNTU BATU
4. SWAPRAJA MALUA
5. SWAPRAJA MAIWA

Adapun mantan Kepala Pemerintahan Negeri Enrekang (KPN) :

ABDUL HAKIM
ABDUL RAHMAN, BA.
ABDUL MADJID PATTAROPURA
NUHUNG
A T J O
Yang menjadi catatan atau lembaran sejarah yang tak dapat dilupakan, bahwa dalam perjuangan atau pembentukan Kewadanaan Enrekang ( 5 SWAPRAJA) menjadi DASWATI II / DAERAH SWANTARA TINGKAT II ENREKANG atau KABUPATEN MASSENREMPULU. (ingat bahwa yang disetujui kelak dengan nama Kabupaten Dati II Enrekang mungkin karena latar belakang historisnya).

Adapun pernyataan . resolusi tesebut :

Pernyataan Partai / Ormas Massenrempulu di Enrkeang pad tanggal 27 Agustus 1956.
Resolusi Panitia Penuntut Kabupaten Massenrempulu di Makassar pada tanggal 18 Nopember 1956 yang diketuai oleh ALMARHUM Drs. H.M. RISA.
Resolusi HIKMA di Pare pare tanggal 29 Nopember 1956.
Resolusi Raja-raja (ARUM PARPOL / ORMAS MASSENREMPULU ) di Kalosi tanggal 14 Desember 1956
Diantara Tokoh-tokoh / Sesepuh MASSENREMPULU yang mempelopori terbentuknya Kabupaten Enrekang antara lain :

Drs. H. M. RISA
Drs. H. M. THALA
H. ANDI SANTO
PALISURI
H. M. YASIN
ANDI MARAINTANG
ANDI BASO NUR RASYID
ANDI TAMBONE
BOMPENG RILANGI
ANRI ENRENG
ABDUL RAHMAN, BA.
DAN MASIH BANYAK LAGI NAMA YANG TAK SEMPAT DISEBUTKAN

Berdasarkan PP No. 34 Tahun 1962 dan Undang-Undang NIT Nomor 44 Tahun 1960 Sulawesi terpecah dan sebagai pecahannya meliputi Administrasi (AFDELING) Parepare yang lebih dikenal dengan nama Kabupaten Parepare lama, dimana kewedanaan Kabupaten Enrekang adalah merupakan salah satu daerah diantara 5 (lima) Kewedanaan lainnya.
Selanjutnya dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 74 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi atau daerah Swatantra Tingkat II (DASWATI II), maka Kabupaten Parepare lama terpecah menjadi 5 (lima) DASWATI II antara lain :

DASWATI II ENREKANG
DASWATI II SIDENRENG RAPPANG
DASWATI II BARRU
DASWATI II PINRANG
DASWATI II PARE PARE
Kelima gabungan darah tersebut dari dulu dikenal dengan nama : AFDELING PAREPARE

Dengan terbentuknya DASWATI II ENREKANG berdasarkan Undang-Undang Nomor : 29 Tahun 1959, maka sebagai tindak lanjut pada tanggal 19 februari 1960 dilantiklah saudara H. ANDI BABBA MANGOPO sebagai Bupati yang pertama dan hari terbentuknya DASWATI II Enrekang atau KABUPATEN ENREKANG berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah.

Sehubungan dengan ditetapkannya Perda Nomor : 4,5,6 dan 7 tahun 2002 tanggal 20 Agustus 2002 tentang Pembentukan 4 (empat) Kecamatan Definitif dan Perda Nomor 5 dan 6 Tahun 2006 tentang Pembentukan 2 Kecamatan sehingga pada saat ini enrekang telah memiliki 11 (sebelas ) Kecamatan yang defenitif yaitu :

Kecamatan Enrekang ibukotanya Enrekang
Kecamatan Maiwa ibukotanya Maroangin
Kecamatan Anggeraja ibukotanya Cakke
Kecamatan Baraka ibukotanya Baraka
Kecamatan Alla ibukotanya Belajen
Kecamatan Curio ibukotanya Curio
Kecamatan Bungin ibukotanya Bungin
Kecamatan Malua ibukotanya Malua
Kecamatan Cendana ibukotanya Cendana
Kecamatan Buntu Batu ibukotanya Pasui hasil pemekaran dari Kecamatan Baraka diresmikan oleh Bapak Bupati Enrekang yang dihadiri Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 19 Januari 2007.
Kecamatan Masalle ibukotanya Lo’ko hasil pemekaran dari Kecamatan Alla.
Kecamatan Baroko Ibukotanya Baroko hasil pemekaran dari Kecamatan Alla. Diresmikan oleh Bapak Bupati Enrekang, dihadiri Bapak Gubernur Prov. Sulawesi Selatan, Para Muspida, Tokoh Agama dan Tokoh-tokoh Masyarakat.
Selanjutnya dari 12 (Duabelas) Kecamatan Defenitif terdapat 112 (seratus dua belas ) desa / kelurahan, yang terdiri dari 17 Kelurahan dan 95 desa. Adapun jumlah penduduk Kabupaten Enrekang untuk keadaan sekarang ( 2008) dalam memasuki Hari Ulang Tahun (HUT) ke 48 Kabupaten Enrekang sejumlah 168.810 terdiri dari laki-laki sebanyak 93.939 jiwa, perempuan sebanyak 92.871 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 43.062.

www.enrekangkab.go.id

SEJARAH KABUPATEN BANTAENG

Hari kelahiran Bantaeng adalah merupakan momentum sejarah yang memiliki makna yang sangat dalam dan mendasar, oleh karena itu maka penentuan hari Jadi Bantaeng harus dilakukan sejarah arif dan bijaksanas serta mempertimbangkan berbagai hal dan dimensi, antara lain dengan mempergunakan berbagai pendekatan dan penelitian yang seksama, seperti seminar , diskusi-diskusi ilmiah dan observasi terhadap data lontara, penelitian situs sejarah dan melalui penelitian dokumen-dokumen yang ada.

Apabila dilihat dari segi yuridis formal, maka hari jadi Bantaeng jatuh pada tanggal 4 Juli 1959 disaat diundangkan Undang-Undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi.

Namun, pemberlakuasn Undang-Undangf Nomor 29 tahun 1959, bukanlah menunjukkan keberadaaan Bantaeng pertama kali, karena Kabupaten Bantaeng sebagai bekas Afdeling pada Zama Pemerintahan Hindia Belanda sudah lama dikenal sebagai pusat pemerintahan formal. Bahkan sejak tanggal 11 November 1737 Resident Pertama Pemerintahan Hindia Belanda telah memimpin pemerintahan di Bantaeng.

Dengan status "Buttatoa", maka kita menoleh kepada sejarah jauh sebelumnya, ketika kerajaan Bantaeng terbentuk pada abad XII, yang telah ditemukan oleh kerajaan Singosari dan Kerajaan Majapahit ketika memperlebar usaha dagang dan kekuasaan kewilayah timur edan dicatat dalam berbagai dokumen, antara lain peta wilayah Singosari dan buku Prapanca yang berjudul Negara Kertagama.

Dengan demikian, maka hari jadi Bantaeng, selain bermakna historis juga bermakna simbolik yang menggambarkan nilai budaya dan kebesaran Bantaeng dimasa lalu dengan adat istiadatnya yang khas.

Tanggal 7 (Tujuh) menunjukkan simbol Balla Tujua di Onto, dan Tau Tujua yang memerintah dimasa lalu, yaitu : Kare Onto, Bissampole, Sinowa, Gantarangkeke, Mamampang, Mamampang, Katapang dan Lawi-Lawi.


Selain itu, sejarah menunjukkan, bahwa pada tanggal 7 Juli 1667 terjadi perang Makassar, dimana tentara Belanda mendarat lebih dahulu di Bantaeng sebelum menyerang Gowa karena letaknya yang strategis sebagai bandar pelabuhan dan lumbung pasngan Kerajaan Gowa. Serangan Belanda tersebut gagal, karena ternyata dengan semangat patriotiseme rakyat Bantaeng sebagai bagian Kerajaan Gowa pada waktu itu mengadakan perlawanan besar-besaran.

Bulan 12 (dua belas),menunjukkan sistim Hadat 12 atau semacam DPRD sekarang, yang terdiri dari perwakilan rakyat melalui Unsur Jannang (Kepala Kampung) sebagai anggotanya, yang secara demokratis mennetapkan kebijaksanaan pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng.

Tahun 1254 dalam atlas sejarah Dr. Muhammad Yamin, telah dinyatakan wilayah Bantaeng sudah ada, ketika kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Raja Kertanegaramemperluas wilayahnya ke daerah timur Nusantara untuk menjalin hubungan niaga pada tahun 1254-1292. Penentuan autentik Peta Singosari ini jelas membuktikan Bantaeng sudah ada dan eksis ketika itu.

Bahkan menurut Prof. Nurudin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak tahun 500 masehi, sehiongga dijuluki Butta Toa atau Tanah Tuo (Tanah bersejarah).



selanjutnya laporan peneliti Amerika Serikat Wayne A. Bougas menyatakan Bantayan adalah Kerajaan Makassar awal tahun 1200-1600, dibuktikan dengan ditemukannya penelitian arkeolog dan para penggali keramik pada bagian penting wilayah Bantaeng yakni berasal dari dinasti Sung (960-1279) dan dari dinasti Yuan (1279-1368).




Dengan demikian, maka sesuai kesepakatan yang telah dicapai oleh para pakar sejarah,sesepuh dan tokoh masyarakat Bantaeng pada tanggal 2-4 Juli 1999. berdasarkan Keputusan Mubes KKB nomor 12/Mubes KKB/VII/1999 tanggal 4 Juli 1999 tentang penetapan Hari Jadi Bantaeng maupun kesepatan anggota DPRD Tingkat II Bantaeng, telah memutuskan bahwa sangat tepat Hari Jadi Bantaeng ditetapkan pada tanggal 7 bulan 12 tahun 1254, Peraturan Daerah Nomor: 28 tahun 1999.

Sejak terbentuknya Kabupaten daerah Tingkat II Bantaeng berdasarkasn UU Nomor 29 Tahun 1959, Bupati Kepala Daerah Tingkat II yang pertama dilantik pada tanggal 1 Pebruari 1960.

Adapun pejabat pemerintahan sejak terbentuknya Kabupaten Bantaeng sebagai berikut:
1. A. Rifai Bulu Tahun 1960-1965
2. Aru Saleh Tahun 1965-1966
3. Solthan Tahun 1966-1971
4. H. Solthan Tahun 1971-1978
5. Drs. H. Darwis Wahab Tahun 1978-1988
6. Drs. H. Malingkai Maknun Tahun 1988-1993
7. Drs. H. said Saggaf Tahun 1993-1998
8. Drs. H. Azikin Solthan, M. Si Tahun 1998 - 2008
9. Dr.Ir. Nurdin Abdullah, M.Agr Tahun 2008 - Sekarang

Sumber : www.bantaeng.go.id

SEJARAH KABUPATEN SIDRAP

Sebelum ditetapkan menjadi sebuah Kabupaten, Sidenreng Rappang atau yang lebih akarab disingkat SIDRAP, memiliki sejarah panjang sebagai kerajaan Bugis yang cukup disegani di Sulawesi Selatan sejak abad XIV, disamping Kerajaan Luwu, Bone, Gowa, Soppeng, dan Wajo.

Berbagai literatur yang ada menyebutkan, eksitensi Kerajaan ini turut memberi warna dalam percaturan politik dan ekonomi kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. Sidenreng merupakan salah satu dari sedikit kerajaan yang tercatak dalam kitab "La Galigo" yang amat melegenda. Sementara masa La Galigo, menurut Christian Pelras yang menulis buku Manusia Bugis, berlangsung pada periode abad ke 11 dan 13 Masehi. Ini berarti Sidenreng merupakan salah satu kerajaan kuno atau pertama di Sulawesi Selatan. Di abad selajutnya, Kerajaan Sidenreng yang berpusat di sekitar danau besar (Tappareng karaja) menjadi salah satu negeri yang ramai dan terkenal hingga ke benua lain. Ini sesuai dengan catatan seorang Portugis di abad ke-16 M yang menuliskan Sidereng sebagai "...Sebuah kota besar dan terkenal, berpusat di sebuah danau yang dapat dilayari, dan dikelilingi tempat-tempat pemukiman." (Tiele 1880, IV;413).

Manuel Pinto, seorang berkebangsaan Portugsi lainnya malah sempat menetap selama delapan bulan di Kerajaan Sidenreng dan merekam suasana tahun 1548 M. Pinto menggambarkan Sidenreng sebagai sebuah negeri yang ramai dengan penduduk sekitar 300.000 orang. Ada yang berpendapat bahwa asumsi penduduk di tahun 1548 M yang disebut Pinto terlalu besar. Namun dengan kebesaran dan kejayaan Sidenreng di masa itu, tak menutup kemungkinan bahwa Sidereng mempunyai wilayah yang jauh lebih luas daripada Kabupaten Sidenreng Rappang atau wilayah Ajatappareng sekarang ini.

Ia juga menceritakan aktivitas perdagangan di kerajaan ini yang dikunjungi pedangang dari berbagai belahan dunia termasuk Portugis dengan muggunakan jalur laut menuju Tappareng Karaja. Pinto menulis, "Sebuah fusta besar (kapal layar portugis yang panjang dan dilengkapi deretan dayung di kedua sisinya) dapat berlayar dari laut munuju Sidereng." (Wicki, Documents Indica, II: 420-2).

Hal ini diperkuat oleh Crawfurd pada 1828 (Descriptive Dictionary; 74, 441) yang menulis, "pada kampung-kakmpung di tepi (danau)... berlangsung perdagangan luar negeri yang peset. Perahu-perahu dagang dihela ke hulu sungai Cenrana...Kecuali pada musim kemarau, airnya cukup dalam untuk dilewati perahu-perahu paling besar sekalipun."

Sejarawan lainnya mencatat, "Sidenreng adalah perbatasan wilayah pengaruh Luwu dan Siang, terletak di antara dataran yang merupakan satu-satunya celah alami antara gugusan gunung yang memisahkan pantai barat dan timur semenanjung Sulawesi Selatan." (Andaya 2004, Wari san Arung Palakka, Sejarah Sulawesi di Abad XVII).

Dalam literatur lain, Rappang disebutkan sebagai kerajaan yang menguasai daerah hilir Sungai Saddang di abad 15 M. Bersama dengan Sidenreng, Sawitto, Alitta, Suppa, dan Bacukiki, mereka membentuk persekutuan Aja’Tappareng (wilayah barat danau) untuk membendung dominasi Luwu. Persekutuan itu kemudian diikatkan dalam perkawinan antar keluarga raja-raja mereka.

Sumber : http://putra-putri-sidrap.com

KOTA PARE-PARE

Diawal perkembangannya dataran tinggi yang sekarang ini, yang disebut Kota Parepare, dahulunya adalah merupakan semak-semak belukar yang diselang-selingi oleh lubang-lubang tanah yang agak miring tempat  tumbuhnya semak-semak tersebut secara liar dan tidak teratur, mulai dari utara (Cappa Ujung) hingga ke jurusan selatan kota. Kemudian dengan melalui proses perkembangan sejarah sedemikian rupa dataran itu dinamakan Kota Parepare.


Lontara Kerajaan Suppa menyebutkan, sekitar abad XIV seorang anak Raja Suppa meninggalkan Istana dan pergi ke selatan mendirikan wilayah tersendiri pada tepian pantai karena hobbynya memancing. Wilayah itu kemudian dikenal sebagai kerajaan Soreang, kemudian satu lagi kerajaan berdiri sekitar abad XV yakni Kerajaan Bacukiki.

Dalam satu kunjungan persahabatan Raja Gowa XI, Manrigau Dg. Bonto Karaeng Tonapaalangga (1547-1566) berjalan-jalan dari kerajaan Bacukiki ke Kerajaan Soreang. Sebagai seorang raja yang dikenal sebagai ahli strategi dan pelopor pembangunan, Kerajaan Gowa tertarik dengan pemandangan yang indah pada hamparan ini dan spontan menyebut “Bajiki Ni Pare” artinya “Baik dibuat pelabuhan Kawasan ini”. Sejak itulah melekat nama “Parepare” Kota Pelabuhan. Parepare akhirnya ramai dikunjungi termasuk orang-orang melayu yang datang berdagang ke kawasan Suppa.

Melihat posisi yang strategis sebagai pelabuhan yang terlindungi oleh tanjung di depannya, serta memang sudah ramai dikunjungi orang-orang, maka Belanda pertama kali merebut tempat ini kemudian menjadikannya kota penting di wilayah bagian tengah Sulawesi Selatan. Di sinilah Belanda bermarkas untuk melebarkan sayapnya dan merambah seluruh dataran timur dan utara  Sulawesi Selatan. Hal ini yang berpusat di Parepare untuk wilayah Ajatappareng.

Pada zaman Hindia Belanda, di Kota Parepare, berkedudukan seorang Asisten Residen dan seorang Controlur atau Gezag Hebber sebagai Pimpinan Pemerintah (Hindia Belanda), dengan status wilayah pemerintah yang dinamakan “Afdeling Parepare” yang meliputi, Onder Afdeling Barru, Onder Afdeling Sidenreng Rappang, Onder Afdeling Enrekang, Onder Afdeling Pinrang dan Onder Afdeling Parepare.

Pada setiap wilayah/Onder Afdeling berkedudukan Controlur atau Gezag Hebber. Disamping adanya aparat pemerintah Hindia Belanda tersebut, struktur Pemerintahan Hindia Belanda ini dibantu pula oleh aparat pemerintah raja-raja bugis, yaitu Arung Barru di Barru, Addatuang Sidenreng di Sidenreng Rappang, Arung Enrekang di Enrekang, Addatung Sawitto di Pinrang, sedangkan di Parepare berkedudukan Arung Mallusetasi.

Struktur pemerintahan ini, berjalan hingga pecahnya Perang Dunia II yaitu pada saat terhapusnya Pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1942.

Pada zaman kemerdekaan Indonesia tahun 1945, struktur pemerintahan disesuaikan dengan undang-undang no. 1 tahun 1945 (Komite Nasional Indonesia). Dan selanjutnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1948, dimana struktur pemerintahannya juga mengalami perubahan, yaitu di Daerah hanya ada Kepala Daerah atau Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) dan tidak ada lagi semacam Asisten Residen atau Ken Karikan.

Pada waktu status Parepare tetap menjadi Afdeling yang wilayahnya tetap meliputi 5 Daerah seperti yang disebutkan sebelumnya. Dan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan dan pembagian Daerah-daerah tingkat II dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, maka ke empat Onder Afdeling tersebut menjadi Kabupaten Tingkat II, yaitu masing-masing  Kabupaten Tingkat II Barru, Sidenreng Rappang, Enrekang dan Pinrang, sedang Parepare sendiri berstatus Kota Praja Tingkat II Parepare. Kemudian pada tahun 1963 istilah Kota Praja diganti menjadi Kotamadya dan setelah keluarnya UU No. 2 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka status Kotamadya berganti menjadi “KOTA” sampai sekarang ini.

Didasarkan pada tanggalpelantikan dan pengambilan sumpah Walikotamadya Pertama H. Andi Mannaungi pada tanggal 17 Februari 1960, maka dengan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah No. 3 Tahun 1970 ditetapkan hari kelahiran Kotamadya Parepare tanggal 17 Februari 1960.



Sumber : www.pareparekota.go.id

SEJARAH KABUPATEN BARRU


Kabupaten Barru dahulu sebelum terbentuk adalah sebuah kerajaan kecil yang masing - masing dipimpin oleh seorang Raja yaitu : Kerajaan Berru (Barru), Kerajaan Tanete,Kerajaan Soppeng Riaja dan Kerajaan Mallusetasi.
Dimasa pemerintahan Belanda dibentuk Pemerintahan Sipil Belanda dimana wilayah Kerajaan Berru,Tanete dan Soppeng Riaja dimasukkan dalam wilayah ONDER AFDELLING BARRU,yang bernaung dibawah AFDELLING PARE PARE sebagai kepala Pemerintahan Onder Afdelling diangkat seorang control Belanda yang berkedudukan di Barru, sedangkan ketiga bekas kerajaan tersebut diberi status sebagai Self Bestuur (Pemerintahan Kerajaan Sendiri) yang mempunyai hak otonom untuk menyelenggarakan Pemerintahan sehari-hari baik terhadap eksekutif maupun dibidang yudikatif. 
Dari sejarahnya, sebelum menjadi daerah-daerah Swapraja pada permulaan Kemerdekaan Bangsa Indonesia, keempat wilayah Swapraja ini merupakan 4 bekas Selfbestuur didalam Afdeling Pare-Pare masing-masing:
  1. Bekas Selbesteuur Mallusetasi yang daerahnya sekarang menjadi kecamatan MalluseTasi dengan Ibu Kota Palanro. Adalah penggabungan bekas-bekas Kerajaan Lili dibawah kekuasan Kerajaan Ajattapareng oleh Belanda sebagai Selfbestuur, ialah Kerajaan Lili Bojo dan Lili Nepo.
  2. Bekas selfbestuur Soppeng Riaja yang merupakan penggabungan 4 Kerajaan Lili dibawah bekas Kerajaan Soppeng (Sekarang Kabupaten Soppeng) Sebagai Satu Selfbestuur, ialah bekas Kerajaan Lili Siddo, Lili Kiru-Kiru, Lili Ajakkang, dan lili Balusu.
  3. Bekas Selfbestuur Barru yang sekarang menjadi Kecamatan Barru dengan lbu Kotanya Sumpang Binangae yang sejak semula memang merupakan suatu bekas kerajaan kecil yang berdiri sendiri.
  4. Bekas Selbestuur Tanete dengan pusat Pemerintahannya di Pancana daerahnya sekarang menjadi 3 Kecamatan masing-masing Kecamatan Tanete Rilau, Kecamatan Tanete Riaja, Kecamatan Pujananting.
Seiring dengan perjalanan waktu,maka pada tanggal 24 Pebruari 1960 merupakan tongkak sejarah yang menandai awal kelahiran Kabupaten Daerah TK.II Barru dengan Ibukota Barru berdasarkan Undang-Undang Nomor 229 tahun 1959 tentang pembentukan Daerah-Daerah Tk. II di Sulawesi Selatan. Kabupaten Barru terbagi dalam 7 Kecamatan dan 54 Desa/Kelurahan.

Sebelum dibentuk sebagai suatu Daerah Otonom berdasarkan UU No. 29 Tahun 1959 pada tahun 1961, Daerah ini terdiri dari 4 Wilayah Swapraja didalam kewedanaan Barru Kabupaten Pare-Pare lama, masing-masing Swapraja Barru Swapraja Tanete, Swapraja Soppeng Riaja dan bekas Swapraja Mallusetasi, Ibu Kota Kabupaten Barru sekarang bertempat di bekas ibu Kota Kewedanaan Barru. 

Kabupaten Barru yang dikenal dengan motto HIBRIDA ( Hijau,Bersih,Asri dan Indah) adalah salah satu Kabupaten yang terletak dipesisir Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan dengan garis pantai sekitar 78 Km.Secara Geografis terletak diantara Koordinat 4'0.5'35" lintang selatan dan 199'35" - 119'49'16" Bujur Timur dengan luas wilayah 1.174,72 Km2 (117.472 Ha) dan berada kurang lebih 102 Km sebelah utara Kota Makassar Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan, yang dapat ditempuh melalui perjalanan darat kurang lebih 2,5 jam .Kabupaten Barru secara Administratif terbagi atas 7 kecamatan, 14 Kelurahan dan 40 Desa sebagaimana pada tabel dibawah yang mempunyai batas - batas wilayah :
  •  Sebelah Utara dengan Kota Pare-Pare dan Kabupaten Sidrap
  • Sebelah Timur dengan Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Bone
  • Sebelah Selatan dengan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
  • Sebelah Barat dengan selat Makassar.
Kabupaten Barru terletak pada jalan Trans Sulawesi dan merupakan daerah lintas Wisata yang terletak antara Kota Makassar dan Kota Pare-Pare menuju Kabupaten Tana Toraja sebagai daerah tujuan wisata dari Mancanegara. 
Kabupaten Barru mempunyai ketinggian antara 0-1.700 meter diatas permukaan laut dengan bentuk permukaan sebahagian besar daerah kemiringan,berbukit hingga bergunung - gunung dan sebahagian lainnya merupakan daerah datar hinggi landai.  Di Kabupaten Barru terdapat seluas 71,79 % wilayah ( 84.340 Ha) dengan tipe iklim C yakni mempunyai bulan basah berturut-turut 5-6 bulan (Oktober - Maret) dan bulan Kering berturut-turut kurang dari 2 bulan (April - September). Total hujan selama setahun di Kabupaten Barru sebanyak 113 hari dengan jumlah curah hujan sebesar 5.252 mm.Curah hujan di kabupaten Barru berdasarkan hari hujan terbanyak pada bulan Desember - Januari dengan jumlah curah hujan 1.335 mm dan 1.138 mm sedangkan hari hujan masing-masing 2 hari dengan jumlah curah hujan masing- masing 104 mm dan 17 mm
Sumber : www.barru.go.id

SEJARAH KABUPATEN JENEPONTO

Penetapan Hari Jadi Jeneponto sebagai salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan waktu yang cukup panjang dan melibatkan banyak tokoh di daerah ini. Kajian dan berbagai peristiwa penting melahirkan beberapa versi mengenai waktu yang paling tepat untuk dijadikan sebagai Hari Jadi Jeneponto.
Kelahiran adalah suatu proses yang panjang, yang merupakan momentum awal dan tercatatnya sebuah sejarah Bangsa, Negara, dan Daerah. Oleh karena itu, kelahiran tersebut memiliki makna yang sangat dalam bagi peradaban manusia.
Jeneponto merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, yang terletak di bagian selatan, tumbuh dengan budaya dan peradaban tersendiri seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman. Menyadari perlunya kepastian akan Hari Jadi Jeneponto, maka dilakukan beberapa upaya dengan melibatkan berbagai elemen di daerah ini melalui seminar –seminar yang dilaksanakan secara terpadu.
Dari pemikiran yang berkembang dalam pelaksanaan seminar tersebut, diharapkan bahwa kriteria yang paling tepat untuk menetapkan Hari Jadi Jeneponto adalah berdasarkan pertimbangan historia, sosio-kultural, dan struktur pemerintahan, baik pada masa pra dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia, maupun pertimbangan eksistensi dan norma-norma serta simbol-simbol adat istiadat yang dipegang teguh, dan dilestarikan oleh masyarakat dalam meneruskan pembangunan.
Selanjutnya, penelusuran tersebut menggunakan dua pendekatan yaitu tanggal, bulan, dan tahun menurut teks dan tanggal kejadiannya, serta pendekatan dengan mengambil tanggal-tanggal, bulan-bulan maupun tahun-tahun yang mempunyai makna-makna penting yang bertalian dengan lahirnya suatu daerah, yang dianggap merupakan puncak kulminasi peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi.

Adapun alternatif yang digunakan terhadap kedua pendekatan tersebut di atas yaitu:

Pertama:

a. November 1863, adalah tahun berpisahnya antara Bangkala dan Binamu dengan Laikang. Ini membuktikan jiwa patriotisme Turatea melakukan perlawanan yang sangat gigih terhadap pemerintah Kolonial Belanda.
b. Tanggal 29 Mei 1929 adalah pengangkatan Raja Binamu. Tahun itu mulai diangkat “Todo” sebagai lembaga adat yang refresentatif mewakili masyarakat.
c. Tanggal 1 Mei 1959, adalah berdasarkan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 menetapkan terbentuknya Daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan, dan terpisahnya Takalar dari Jeneponto.

Kedua:

a. Tanggal 1 Mei 1863, adalah bulan dimana Jeneponto menjalani masa-masa yang sangat penting yaitu dilantiknya Karaeng Binamu, yang diangkat secara demokratis oleh “Toddo Appaka” sebagai lembaga representatif masyarakat Turatea.
b. Mundurnya Karaeng Binamu dari tahta sebagi wujud perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.
c. Lahirnya Undang Undang No. 29 Tahun 1959.
d. Diangkatnya kembali raja Binamu setelah berhasil melawan penjajah Belanda. Kemudian tahun 1863, adalah tahun yang bersejarah yaitu lahirnya Afdeling Negeri-negeri Turatea setelah diturunkan oleh pemerintah Belanda dan keluarnya Laikang sebagai konfederasi Binamu.
e. Tanggal 20 Mei 1946, adalah simbol patriotisme Raja Binamu (Mattewakkang Dg Raja) yang meletakkan jabatan sebagai raja yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Dengan Demikian penetapan Hari Jadi Jeneponto yang disepakati oleh pakar pemerhati sejarah, peneliti, sesepuh dan tokoh masyarakat Jeneponto, dari seminar Hari jadi Jeneponto yang berlangsung pada hari Rabu, tanggal 21 Agustus 2002 di Gedung Sipitangarri, dianggap sangat tepat, dan merupakan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan berbagai kesimpulan di atas, maka Hari jadi Jeneponto ditetapkan pada tanggal 1 Mei 1863, dan dikukuhkan dalam peraturan Daerah Kabupaten Jeneponto Nomor 1 Tahun 2003 tanggal 25 April 2003.

Sumber : www.jenepontokab.go.id